UKURAN KEEMPAT
Ada empat jenis ukuran yakni ukuran kesatu, kedua,
ketiga, dan keempat. Wujud ukuran kesatu ialab garis, ukuran kedua berwujud
dataran yang mengandung panjang dan lebar, ukuran ketiga berbentuk benda yang mengandung
panjang, lebar dan tebal, dan ukuran keempat adalah benda hidup yang mengandung
rasa. Jadi ukuran-ukuran tersebut mempunyai wujud dan rasa.
Wujud keempat ukuran-ukuran itu semua terdapat di
dalam rasa manusia, dan tidak di luar rasa manusia. Anggapan bahwa wujud
ukuran-ukuran itu terdapat di luar rasa manusia adalah keliru. Penjelasannya
ialah sebagai berikut.
Ukuran kesatu yang berwujud garis, terdapat di dalam
perasaan orang. Bila garis itu diperkirakan terdapat di luar rasa orang, garis
itu digambarkan sebagai sejumlah titik secara berjajar. Gambaran itu
menimbulkan pertanyaan: "Apakah antara titik-titik itu terdapat jarak atau
tidak?"
Jika antara titik-titik itu tidak ada jaraknya maka
ini berarti bahwa garis itu merupakan sebuah titik. Padahal titik bukanlah
garis. Jadi pendapat bahwa titik-titik mewujudkan garis itu keliru.
Sekarang timbul pertanyaan: "Apakah ada jarak di
antara titik-titik yang mewujudkan garis itu?" Bila di antara titik-titik
itu dibayangkannya ada jarak, maka bisa ditanyakan: "Apakah wujud jarak
itu?" Sudah tentu jawabannya ialah jarak itu berwujud titik. Jawaban di
atas tentu saja menimbulkan pertanyaan lagi. "Ada apakah antara jarak
titik dengan jarak titik lainnyaP" Jawabnya tentu saja: "Ya titik
lagi." Jadi jarak titik yang satu dengan yang lain tidak ada batasnya,
sehingga bila sebuah anak panah, bertolak dari satu titik ke titik lain,
setelah berjalan berjuta-juta tahun pun panah itu tidak akan mencapai titik
yang dituju karena jaraknya tidak terhingga panjangnya. Padahal kenyataannya
tidak demikian. Maka pendapat bahwa garis itu terdiri dari sejumlah titik itu
keliru.
Yang benar ialah bahwa garis itu perasaan orang dalam
menanggapi wujud ukuran kesatu. Setiap orang menanggapi wujud ukuran kesatu
sebagai garis. Jadi garis itu dicipta oleh rasa manusia sendiri.
Wujud ukuran kedua ialah dataran. Patokan untuk
meneliti dataran ini serupa dengan patokan untuk garis, karena dataran ini
digambarkan sebagai sejumlah garis-garis yang berjajar. Maka dataran pun adalah
ciptaan rasa orang dalam menanggapi wujud ukuran kedua.
Wujud ukuran ketiga ialah wujud benda yang mengandung
panjang. lebar dan tebal. Wujudnya sebagai cangkir, piring, rumah, gunung,
sungai, dunia, bintang, bulan, matahari dan sebagainya. Wujud benda ini
terdapat dalam perasaan manusia.
Jika benda itu dikira terdapat di luar rasa manusia,
maka perkiraan itu keliru. Benda itu, selain digambarkan sebagai sejumlah
dataran berjajar, juga digambarkan sebagai sesuatu yang terdapat dalam ruang.
Semua benda dibayangkan sebagai sesuatu yang mengambil dan diliputi ruang.
Padahal ruang adalah rasa orang dalam menanggapi adanya benda itu.
Bila ruang diperkirakan di luar rasa manusia, maka
sifatnya hanyalah dua macam, berbatas atau tanpa batas. Bila ruang itu
berbatas, tentu timbul pertanyaan: "Apakah di luar batas tidak ada ruang
lagi?" Bila orang hendak menjawab pertanyaan di atas, tentu jawabnya ialah
bahwa di luar batas tadi terdapat pula ruang. Jadi pendapat bahwa ruang itu
berbatas, adalah keliru.
Sekarang tinggal meneliti pertanyaan: "Apakah
ruang itu tanpa batas?" Tanpa batas ini bukanlah jumlah dari bagian-bagian
ruang, bukan jumlah satu meter kubik dengan dua meter kubik, atau satu dunia
dengan dua dunia, sebab jumlah itu merupakan batas. Jadi tanpa batas ini
berarti tidak dapat ditanyakan berapa banyaknya, karena jumlah itu berbatas.
Diteliti secara di atas, maka terlintas dalam pikiran
kita bahwa memanglah ruang itu bersifat tanpa batas. Namun bila sifat ruang itu
tanpa batas, maka ini berarti bahwa setiap ruang itu tidak berbatas. Jadi ruang
jarak satu benda dengan benda lain tidak berbatas. Sehingga bila orang berjalan
dari satu tempat ke tempat lain, beribu-ribu tahun tidak akan tiba pada tempat
yang ditujunya.
Demikianlah maka pendapat bahwa ruang itu terdapat di
luar perasaan manusia itu keliru. Yang benar ialah bahwa ruang itu rasa manusia
dalam menanggapi adanya benda. Jadi benda itu terdapat di dalam rasa manusia.
Wujud ukuran keempat pun ada dalam rasa manusia.
Penjelasannya lebih jauh akan diberikan di belakang. Sementara ini akan
diterangkan bagaimanakah hidup manusia dalam berbagai ukuran itu. Manusia itu
hidup dalam ukuran kesatu, kedua, ketiga dan keempat.
Hidup manusia dalam ukuran kesatu ialah sebagai hidup
seorang bayi yang baru lahir beberapa hari. Bayi itu sudah merasakan sesuatu,
tetapi badan dan bagian-bagiannya belum dapat digunakan untuk mengikuti
perasaannya. Misalnya bila bayi itu digigit nyamuk maka dapat dimengerti bahwa
bayi itu merasa sakit. Tetapi tangan bayi itu belum dapat dipergunakan untuk
menghalau nyamuk. Hidup dalam ukuran kesatu ini sama dengan hidup tanaman.
Hidup dalam ukuran kedua ialah sebagai hidup anak-anak
yang badan dan bagian badannya sudah dapat mengikuti perasaannya, tetapi anak
tadi belum mengerti sifat hukum benda-benda. Oleh karenanya dalam hubungannya
dengan benda, ia sering keliru. Sebagai contoh misalnya seorang anak melihat
api bercahaya, maka senanglah ia dan dipegangnya api itu.
Ini mengakibatkan tangannya terbakar. Anak itu
merasakan sesuatu, yakni rasa senang, dan tangannya sudah dapat dipakai untuk
mewujudkan perasaan senangnya, yakni memegang api. Tetapi ia belum mengerti
hukum alam benda, bahwa api dapat membakar tangan yang memegangnya. Hidup dalam
ukuran kedua ini sama dengan kehidupan hewan.
Hidup dalam ukuran ketiga ialah hidup manusia yang
merasakan sesuatu dan badannya sudah dapat dipergunakan menurut perasaannya
serta ia sudah mengerti sifat hukum alam benda. Oleh karenanya dalam
hubungannya dengan benda-benda yang dipakai untuk mencukupi kebutuhan hidupnya,
ia tidak sering keliru. Sebagai contoh misalnya seorang merasa haus, maka
diambilnya air dari tempayan, dan diminumnya. Orang itu merasa sesuatu, yakni
haus, dan mengerti hukum alam benda, kemudian mengerti caranya minum dengan
mengambil air dari tempayan. Maka tindakan orang itu adalah tepat.
Hidup dalam ukuran keempat ialah hidup manusia dalam
hubungannya dengan benda. Benda hidup ini mempunyai perasaan. Jadi hidup dalam
ukuran keempat ialah hidup manusia dalam hubungannya dengan perasaan-perasaan.
Dalam hubungannya dengan perasaan-perasaan itu dapat
timbul pelbagai kesukaran. Kesukaran dalam hubungannya dengan perasaan-perasaan
disebabkan karena ia tidak mengerti tentang perasaan. Serupa halnya kesukaran
dalam hubungannya dengan suatu benda, karena ia tidak mengerti tentang sifat
benda itu. Jadi kesukaran dalam kedua hal di atas disebabkan karena
ketidakmengertian.
Ukuran keempat ialah salah satu alat manusia. Manusia
memiliki berbagai alat seperti tangan, kaki, mata, kuping dan sebagainya.
Alat-alat itu ada yang harus dididik agar berkembang, dan ada pula yang tidak
perlu pendidikan. Alat-alat yang tidak mesti dididik berupa mata, kuping dan
sebagainya. Mata untuk melihat rupa dan kuping untuk mendengar suara. Mata dan
kuping ini sekalipun tidak dididik, bila tidak mengalami cedera,
perkembangannya akan berlangsung secara wajar.
Tetapi alat-alat yang perlu dididik, bila tidak
dididik maka perkembangannya tidak akan wajar. Wujud alat-alat yang perlu
dididik ialah hati, pikiran dan ukuran keempat. Hati ialah alat untuk merasakan
rasanya sendiri, pikiran ialah alat untuk memikir dan ukuran keempat ini ialah
alat untuk merasakan rasa orang lain. Alat-alat inilah yang menyebabkan orang
membutuhkan pelajaran, tidak hanya yang bersifat ketrampilan, akan tetapi juga
yang dapat mengembangkan hati, pikiran, dan ukuran keempatnya.
Hati sebagai alat untuk merasakan rasa sendiri, bila
tidak cukup pendidikannya, tidak akan dapat berkembang secara wajar, sehingga
untuk merasakan rasa sendiri sering keliru. Rasa orang dapat dibagi dua, yaitu
rasa enak dan rasa tidak enak. Bila hati tidak cukup terdidik, ia sering keliru
untuk merasakan rasa sendiri yang enak dan tidak enak, yakni enak dianggapnya
tidak enak, sedang tidak enak dianggapnya enak. Sering kekeliruan tadi diketahui
kemudian berupa penyesalan.
Kekeliruan-kekeliruan itu disebabkan karena
bercampurnya pelbagai rasa secara tidak teratur; misalnya bercampurnya rasa
enak dan tidak enak dalam suatu tindakan. Maka memisah-misahkan rasa yang
bercampur secara tidak teratur itu, adalah salah satu latihan untuk mendidik
hati.
Misalnya orang berjudi atau main ceki; ketika menang
merasa enak dan senang. Tetapi rasa senang ini bercampur rasa gelisah, rasa
takut kalau kalah dan dia bernafsu untuk mempertahankan kemenangannya. Dan main
kartu ceki dengan kegelisahan, karena takut kalah disertai nafsu menang,
merupakan rasa tidak enak yang mencampuri rasa senang dalam kemenangannya.
Adapun main kartu ceki tanpa rasa gelisah dan tanpa
nafsu menang tentu saja tidak mengganggu rasa senang. Adanya rasa itu
menimbulkan rasa susah dan celaka yang kedua-duanya tidak enak. Jelasnya
sebagai berikut. Rasa susah ialah rasa keinginan yang tidak tercapai, maka
tidak berlangsung iama. Tetapi rasa celaka (malang) itu ialah idam-idaman yang
ditakutkan akan gagal dan yang disebut prihatin, dan oleh karena itu
berlangsung lama. Rasa prihatin tetap ada pada waktu orang merasa senang.
Rasa prihatin adalah tetap tidak enak. Tatkala belum
tercapai, idam-idaman itu menggelisahkan, maka rasanya tidak enak, prihatin.
Ketika idam-idaman itu gagal maka timbul rasa sedih, yang rasanya tidak enak.
Sekalipun idam-idaman itu tercapai, namun tetap timbul kekhawatiran kalau-kalau
ia terlepas lagi, maka rasanya tidak enak. Jadi main kartu ceki bila menjadi
idam-idaman, tidaklah enak rasanya.
Contoh rasa enak yang dianggap tidak enak, ialah bila
orang berbuat baik kepada orang lain, namun akhirnya dibalas dengan kejahatan,
maka menyesallah ia atas perbuatan baiknya tadi. Penyesalan itu disebabkan
karena tercampurnya rasa enak dan tidak enak. Berbuat baik terhadap orang lain
itu enak rasanya, dan dibalas dengan kejahatan oleh orang lain, tidak enak
rasanya. Jadi berbuat baik terhadap orang lain tetap enak rasanya. Maka
penyesalan di atas berarti menyesal akan rasa enak yang diperolehnya. Apabila
orang sering menyesal atas keenakannya, akhirnya ia akan jemu merasa enak.
Demikianlah kekeliruan yang sering terjadi dalam mempergunakan hati untuk
merasakan rasanya sendiri.
Pada hakikatnya tindakan manusia semata-mata menurut
bagaimana ia menanggapi rasanya. Bila penanggapannya sering keliru, tindakannya
pun sering keliru. Jadi dasar tindakan manusia adalah bagaimana ia menanggapi
rasanya.
Oleh karena itu, mula-mula hati ini harus dilatih
untuk menanggapi pelbagai rasanya sendiri yang pokok, agar dapat memisahkan
rasa suka dan duka (susah), dengan bahagia dan derita. Setelah itu maka dengan
mudah hati dapat digunakan untuk menanggapi perincian rasa sendiri. Demikianlah
cara mendidik hati.
Pikiran ialah untuk memikir. Bila tidak cukup terdidik
pikiran tidak akan memperoleh kemajuan yang wajar, sehingga pemikirannya sering
keliru. Hal-hal yang dipikirkan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu benda
dalam arti umum dan benda secara terperinci. Yang pertama ialah jawaban atas
pertanyaan: "Apakah yang terdapat di atas bumi dan di kolong langit?"
Yang kedua adalah benda-benda satu persatu serta gerak-geriknya.
Memikirkan masalah benda dalam arti umum, harus
dijalankan tanpa bertanya berapa, bagaimana, di mana dan bilamana. Benda dalam
arti umum tidak ada jumlahnya tidak dapat dilihat dan tidak bergantung pada
tempat dan waktu. Maka kelirulah bila memikirkan benda dalam arti umum, dengan
menggunakan empat macam pertanyaan tersebut.
Memikirkan benda secara terperinci, harus menggunakan
pertanyaan berapa, bagaimana, di mana dan bilamana. Karena benda terperinci itu
mempunyai jumlah yang dapat dilihat dan tergantung pada tempat dan waktu. Maka
kelirulah bila memikirkan benda terperinci tanpa menggunakan empat macam
pertanyaan tersebut.
Benda terperinci ialah benda berwujud serta
gerak-geriknya (Bhs. Jawa:lelampahan). Memikirkan benda berwujud,
ialah membeda-bedakan dan menyama-nyamakan benda yang satu dengan lainnya,
menurut jumlah, bentuk, tempat, dan zamannya. Hasil pemikiran demikian itu
merupakan pengertian.
Memikirkan cara gerak-geriknya ialah membedakan dan
menyamakan gerak-geriknya satu persatu dan meneliti sebab dan akibatnya. Gerak
gerik itu merupakan pergeseran jumlahnya, perubahan bentuknya dan pergantian
waktunya. Hasil pemikiran demikian itu merupakan pengertian.
Apa yang dipikirkan, bagaimanakah sifat-sifatnya dan
apakah faedahnya, semua ini harus jelas, agar kita dapat berpikir benar.
Pemikiran yang tidak jelas, disebabkan tidak terpenuhinya tiga syarat tersebut.
Jadi untuk berpikir dengan jelas itu perlu menjawab tiga pertanyaan, yaitu apa
yang dipikir, bagaimana sifatnya dan apa gunanya.
Dalam pergaulan, banyak perselisihan disebabkan oleh
kekeliruan dalam berpikir. Misalnya, ada yang berpikir bahwa Nyai Rara Kidul
(Ratu Laut Selatan dalam mitos/dongeng Jawa) ialah penyebar penyakit; sedangkan
ada pula yang berpikir, bahwa Nyai Rara Kidul ialah penyembuh penyakit. Dua
macam eara berpikir yang bertentangan di atas menyebabkan perselisihan. Tetapi
pemikiran di atas akan menjadi jelas bila disertai pertanyaan: "Yang
dipikir itu apa? bagaimana? dan apa faedahnya?" Misalnya pertama, Nyai
Rara Kidul itu apa? Jawabnya, Nyai Rara Kidul itu sebuah dongeng, dan dongeng
itu ialah cerita yang tidak bersangkutan dengan kenyataan. Kemudian pertanyaan
kedua, bagaimanakah Nyai Rara Kidul itu? Penyebar atau penyembuh penyakit?
Dongeng itu diceritakan oleh dua orang yang masing-masing tidak berhubungan,
maka sewajarnyalah bila dongeng tersebut berbeda-beda. Akhirnya, apakah
faedahnya dongeng itu? Jawabnya, faedah dongeng adalah untuk hiburan atau untuk
memasukkan pelajaran kebatinan dan sebagainya. Setelah jelas demikian, dongeng
Nyai Rara Kidul itu tidak lagi menyebabkan perselisihan.
Hal-hal yang dipikir pun dapat dipisah menjadi dua,
yakni benda dan rasa. Sering cara memikir rasa dikacaukan dengan cara memikir
benda, sehingga mengakibatkan kesulitan. Untuk memikir rasa, terlebih dahulu
harus memisahkan rasa dari benda. Rasa yang bersumber pada keinginan, pada
pokoknya ialah senang dan susah. Senang ialah rasa tercapainya keinginan, dan
susah ialah rasa tidak tercapainya keinginan. Jadi senang dan susah itu rasa,
bukan benda.
Yang menyebabkan senang ialah keinginan tercapai, dan
yang menyebabkan susah ialah keinginan tidak tercapai, tetapi bukanlah benda-benda
yang diinginkan. Agar jelas perlu diberi contoh di sini. Misalnya banyak orang
mengadakan pertemuan di malam hari, mereka membutuhkan lampu yang terang. Bila
memperoleh lampu terang, senanglah mereka itu. Tetapi tatkala hendak tidur
mereka perlu lampu yang tidak sebegitu terang, sehingga mereka merasa susah
kalau lampu itu terang. Jadi lampu terang itu semula disenangi, kemudian tidak
disenangi.
Jadi benda itu tidak menyebabkan senang atau susah.
Bila sudah terpisah cara memikir benda dan memikir rasa, orang dapat menelaah
pokok kebutuhannya yang semula ruwet. Setelah dimengerti, maka lenyaplah
kesulitan yang bersumber pada tercampurnya memikir benda dan memikir rasa.
Rasa orang pun dapat dibagi dua bagian, sebagai rasa
yang dihayati dan rasa yang menghayati. Rasa yang dirasakan yaitu senang,
susah, sakit, sembuh dan sebagainya. Dan rasa yang menghayati ialah
"aku", merasa, mengerti, pribadi, dan sebagainya. Jadi rasa yang
menghayati bukanlah rasa yang dihayati. Bila dalam memikirkan dua macam rasa
itu bercampur-baur, sering orang keliru dalam merasakan sesuatu. Misalnya bila
orang sedang sakit, ia merasa "aku sakit". Memikir rasa demikian itu
keliru.
Sakit adalah rasa yang dihayati, bukanlah rasa yang
menghayati. "Aku" adalah rasa yang menghayati bukanlah rasa yang
dihayati dan oleh karena itu tidak dapat sakit, melainkan dapat merasakan
sakit. Jadi yang sakit bukanlah "aku".
Setelah rasa yang dirasakan dan rasa yang merasakan
terpisah maka rasa orang itu benar, yaitu "yang sakit bukanlah aku".
Bila kesadarannya sudah tepat, orang akan dapat meneliti dan mempelajari
rasa-rasa sendiri yang bermacam-macam itu. Demikianlah cara memisahkan rasa
yang dihayati dan rasa yang menghayati.
Jadi membina pikiran dapat dijalankan dengan
memisahkan pemikiran benda dalam arti umum dan pemikiran benda terperinci,
memisahkan pemikiran benda dari rasa, dan untuk memisahkan pemikiran rasa yang
dihayati dengan rasa yang menghayati.
Adapun ukuran keempat ini adalah alat untuk merasakan
rasa orang lain. Bila tidak cukup pembinaannya, ia tidak akan memperoleh
kemajuan yang wajar. Sehingga di dalam menghayati rasa orang lain, sering
salah.
Manusia itu dapat menghayati rasa sendiri dan rasa
orang lain. Rasa sendiri dan rasa orang lain ini kedua-duanya terdapat dalam
rasa sendiri. Jadi rasa manusia itu berisi rasa sendiri dan rasa orang lain.
Bila rasa sendiri dan rasa orang lain dalam diri sendiri tercampurbaur, orang
sering keliru menghayati rasa orang lain. Contohnya, orang kaya yang sering
keliru menghayati rasa orang miskin. Orang kaya itu mengira bahwa orang miskin
itu celaka dan susah selama-lamanya. Perasaan demikian itu, bercampur dengan
rasa takut kemiskinan yang akan menimpanya. Bila rasa takut jatuh miskin itu
terpisah, orang kaya itu dapat menghayati rasa orang miskin, yaitu bahwa si
miskin tidak selamanya susah. Demikianlah cara memisahkan rasa sendiri dari
rasa orang lain.
Orang miskin pun sering salah dalam menghayati rasa
orang kaya. Ia mengira bahwa orang kaya itu bahagia dan senang selamanya. Cara
mengira demikian itu tercampur dengan keinginan sendiri untuk menjadi kaya.
Bila rasa ingin kaya ini terpisah maka ia dapat menghayati rasa orang kaya,
yaitu bahwa si kaya tidak senang selamanya. Demikianlah cara memisahkan rasa
sendiri dari orang lain. Jadi yang merintangi untuk menghayati rasa orang lain,
ialah kepentingan sendiri.
Di sini perlu diberi contoh lain. Ayam (hewan) ialah
benda yang memiliki rasa. Bila orang terpengaruh oleh kepentingannya sendiri,
ia tidak dapat menghayati rasa hewan itu. Biasanya bila orang melihat seekor
ayam maka kepentingan sendiri muncul. "Gemuk benar ayam ini, bila
dipelihara akan banyak bertelur, bila digoreng enak pula rasanya dan bila
dijual bisa laku sekian rupiah," demikian perasaannya. Padahal bukanlah
kehendak ayam untuk digoreng. Demikian kepentingan sendiri merintangi orang
untuk menghayati rasa orang lain.
Contoh yang lebih terang lagi, ialah bila seorang
laki-laki bepergian beberapa hari lamanya. Ketika pulang ditemukan istrinya
menderita sakit perut. Laki-laki itu merasa kecewa, dan rasa kecewa inilah yang
menyebabkan ia tidak dapat menghayati rasa sakit perut istrinya. Demikian
kepentingan sendiri merintangi orang untuk menghayati rasa orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar