WEJANGAN POKOK ILMU BAHAGIA
Hal. 1/5
BAGIAN I
Senang-Susah
Di atas bumi
dan di kolong langit ini tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari atau
ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian manusia itu tentu berusaha
mati-matian untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak
sepantasnya dicari, ditolak atau dihindarinya. Bukankah apa yang dicari atau
ditolaknya itu tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau
celaka dan susah selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu, pasti
ia mengira atau berpendapat bahwa "jika keinginanku tercapai, tentulah aku
bahagia dan senang selamanya; dan jika tidak tercapai tentulah aku celaka dan
susah selamanya".
Pendapat di
atas itu teranglah keliru. Bukankah sudah beribu-ribu keinginannya yang
tercapai, namun ia tetap saja tidak bahagia, melainkan senang sebentar,
kemudian susah lagi? Juga sudah beribu-ribu keinginannya yang tidak tercapai,
namun ia tetap saja tidak celaka, melainkan bersusah hati sebentar kemudian senang
kembali. Jadi pendapat bahwa tercapainya keinginan menyebabkan rasa bahagia
atau tidak tercapainya keinginan menyebabkan rasa celaka, jelaslah keliru.
Tetapi setiap keinginan pasti disertai pendapat demikian.
Sebagai contoh,
ketika orang berkeinginan sesuatu, misalnya berhajat mengawinkan anaknya, dan
karena ia tidak punya cukup uang, ia akan mencari pinjaman.Di dalam mencari
pinjaman itu ia merasa: "Jika usahaku untuk mencari pinjaman ini tidak
berhasil, pastilah aku celaka dan merasa malu selamanya". Andaikata ia
gagal memperoleh pinjaman, ia tidak akan merasa celaka, melainkan hanya merasa
malu sebentar. Kemudian setelah merasa susah karena ia tidak dapat mengundang
siapa pun, tidak dapat menanggap (mempertunjukan) wayang dan tidak dapat mengadakan
janggrungan (tarian bersama antara penari-penari dan tetamu-tetamu dalam pesta
perjamuan orang Jawa), ia pun akan merasa senang lagi, bahkan lega
hatinya."Wah, untunglah usahaku mencari hutang tempo hari tidak berhasil.
Andaikata aku berhasil, pasti sekarang ini aku akan kelabakan (gelisah) mencari
uang untuk membayar hutang itu kembali." Demikianlah, maka jelaslah bahwa
tidak tercapainya keinginan tidak menyebabkan orang merasa celaka.
Demikian juga
keinginan yang tercapai tidak menyebabkan orang merasa bahagia. Misalnya orang
berhasrat keras untuk kawin. Ia merasa: "Jika si Anu itu menjadi
suami/isteriku, berbahagialah aku." Dibayangkannya: "Jodohku itu akan
kugandeng selama tiga tahun tanpa kulupakan." Tetapi bila hasrat kawinnya
itu benar-benar terlaksana, ia pun tidak akan sungguh-sungguh bahagia,
melainkan hanya senang sebentar dan kemudian susah lagi. Bahkan sering terjadi
dalam perkawinan bahwa sesudah seminggu saja sudah terjadi pertikaian.
Jadi teranglah
bahwa jika keinginan itu tercapai maka hal itu tidak menyebabkan bahagia dan
jika tidak tercapai, tidak pula menyebabkan celaka. Kenyataannya ialah bahwa
senang dan susah itu tidak berlangsung terus menerus. Sepanjang hidup manusia
sejak masa kanak-kanak sampai tua, ia belum pernah mengalami senang selama tiga
hari tanpa susah, atau mengalami susah selama tiga hari tanpa senang.
Pengalaman semacam itu tidak akan terjadi dan tidak mungkin dapat dialami.
Mulur
Yang
menyebabkan senang ialah tercapainya keinginan. Keinginan tercapai menimbulkan
rasa senang, enak, lega, puas, tenang, gembira. Padahal keinginan ini bila
tercapai pasti mulur, memanjang, dalam arti meningkat. Ini berarti bahwa hal
yang diinginkan itu meningkat entah jumlahnya entah mutunya sehingga tidak
dapat tercapai dan hal ini akan menimbulkan susah. Jadi senang itu tidak dapat
berlangsung terus-menerus.
Misalnya
menjelang hari raya orang ingin membeli sarung baru. Kata hatinya: "Bila
aku dapat membeli sarung baru, pasti aku akan bahagia, yakni tetap senang. Pada
hari besar nanti, aku dapat melancong ke mana-mana." Andaikata sarung baru
itu dapat dibelinya ia pun tidak akan bahagia, melainkan bergembira sebentar
kemudian susah lagi. Oleh karena keinginannya itu mulur, maka ia merasa:
"Memang, meskipun sarungnya sudah baru, ikat kepalanya pun harus
baru." Maka ia ingin membeli ikat kepala, tetapi uangnya tidak cukup, maka
gagallah keinginannya dan susahlah ia. Demikianlah senang tidak berlangsung
terus menerus. Andaikata pun kelak ia dapat membeli sarung dan ikat kepala
baru, pasti keinginannya mulur lagi. Hatinya akan berkata: "Sekarang
sarung dan ikat kepalanya sudah baru, dan bagaimanakah bajunya? Tidakkah harus
baru pula?"
Kemudian bila
pakaiannya baru sudah ada, tentu keinginannya mulur lagi. Sandalnya, arlojinya,
kendaraannya, rumahnya harus baru pula. Bila semua itu sudah ada, pasti
keinginannya akan mulur lagi: "Sekarang semua barang sudah baru, mengapa
isterinya masih yang lama saja. Agar tidak dikatakan aneh maka ia mencari
isteri baru." Bila nanti memperoleh isteri baru, pasti mulur lagi:
"Anaknya pun harus ada yang baru karena mengapa yang ada hanya anak dari
isteri lama saja?" Demikianlah keinginan itu mulur sehingga apabila apa
yang diinginkannya tidak dapat diperolehnya maka susahlah ia. Jelaslah bahwa
senang itu tidak tetap adanya.
Keinginan itu
terwujud dalam usaha mencari semat, derajat dan kramat. Meneari semat ialah
mencari kekayaan, keenakan, kesenangan. Mencari derajat ialah mencari
keluhuran, kemuliaan, kebanggaan, keutamaan. Mencari kramat ialah mencari
kekuasaan, kepercayaan, agar disegani, agar dipuja-puji.
Misalnya orang
mencari semat/kekayaan agar ia berpenghasilan tetap. Rasa hatinya berkata:
"Jika aku berpenghasilan tiap bulan sepuluh rupiah saja, aku tentu
bahagia. Tidak seperti sekarang ini, kadang-kadang hanya tiga rupiah, bahkan
kadang-kadang juga rugi." Bila usahanya berhasil, maka dalam kenyataannya
ia tidak bahagia, namun hanya senang sebentar dan kemudian susah lagi. Ini
disebabkan karena keinginannya mulur sebagai berikut: "Ternyata
penghasilan sepuluh rupiah ini tidak membuat aku bahagia. Jika berpenghasilan
dua puluh ]ima rupiah, barulah aku akan benar-benar bahagia." Nanti bila
sudah memperoleh dua puluh lima rupiah keinginan pun mulur lagi. "Kalau
aku hanya menerima dua puluh lima rupiah saja, terang tidak mungkin aku
bahagia. Bahkan hal itu akan menambah banyak hutangnya, karena dipercaya untuk
membeli dengan bon, hingga ke sana ke sini aku membuat bon. Hanya jika aku
berpenghasilan seratus rupiah, baru aku benar-benar bahagia." Nanti bila
ia berhasil memperoleh seratus rupiah keinginannya pun mulur lagi dan ia ingin
dua ratus, tiga ratus rupiah. Sampai berpenghasilan beribu-ribu rupiah,
berjuta-juta rupiah, masih kurang terus. Demikianlah keinginan itu mulur sampai
pada suatu ketika ia tidak mungkin dipenuhi dan oleh karena itu ia kembali
susah lagi. Jadi senang itu tidak tetap adanya.
Demikian pula
dalam usaha mencari kenaikan derajat. Andaikata orang sudah menjadi asisten
wedana, pasti keinginannya mulur dan ia ingin menjadi wedana. Kemudian setelah
menjadi wedana, tentu keinginannya mulur lagi dan ia ingin menjadi bupati.
Sekalipun sudah menjadi raja, ia kemudian ingin menjadi raja dari semua raja.
Andaikata terlaksana menjadi raja dari semua raja, pasti hatinya berkata.
"Ternyata menjadi raja dari semua raja itu tidak membuat aku bahagia,
karena memerintah manusia itu ternyata bukan main banyak kesulitannya."
"Mungkin kalau menjadi raja jin, barulah aku benar-benar bahagia. Bila
sudah menjadi raja jin, pasti mulur lagi, ingin menjadi raja binatang, kutu,
serangga, yang berupa anjing tanah, kacuak, tokek dan sebagainya. Demikian
mulurnya keinginan sampai apa yang diinginkannya tidak dapat diperolehnya dan
oleh karena itu ia kembali susah lagi. Jadi senang itu tidak tetap.
Demikian pula
dalam usaha memperoleh kramat atau kesaktian. Misalnya jika orang telah
memiliki kesaktian dengan dapat menyembuhkan orang sakit lumpuh dengan
meniupnya saja. Ia belum juga bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian
susah lagi, karena mulurnya keinginannya. Hatinya berkata: "Kalau hanya
dapat menyembuhkan orang lumpuh dengan meniupnya saja, aku tidak berbahagia.
Akan tetapi kalau dapat menghidupkan orang mati, aku tentu bahagia, karena
siapapun akan percaya, segan, takut kepadaku dan akan memujaku." la akan
berusaha ke sana sini untuk dapat menghidupkan orang mati. PadahaI sekolahnya
untuk mempelajarinya tidak ada. Andaikata ia pun berhasil, setelah dapat
menghidupkan dua orang saja, maka timbul kekhawatirannya. "Celakalah aku
nanti. Jika setiap orang mati kuhidupkan kembali. Mayat-mayat dari mana-mana
pasti akan dibawa kemari semua, dan aku disuruh menghidupkannya. Halaman
rumahku pasti akan penuh dengan bangkai anjing, babi hutan dan lain-lain.
Mungkin kalau aku dapat mengeluarkan sukma dari badan, aku baru benar-benar bahagia.
Aku akan dapat melayang-layang mengelilingi dunia melihat negeri Belanda,
negeri Cina, tanpa melakukan perjalanan, tanpa susah payah, lagi pula tidak
kehilangan uang untuk bekalnya." Ia akan ke sana ke sini berusaha keras
supaya bisa melepaskan sukmanya dari badannya, sedangkan sekolah untuk
mempelajarinya belum ada. Andaikata ia berhasil melepaskan sukmanya dari
raganya, ia pun tidak akan benar-benar bahagia, melainkan senang sebentar,
kemudian susah lagi. Hatinya berkata "Susahlah aku bila sukma yang acapkali
dilepas itu sampai tidak dapat kembali lagi ke tempat asalnya. Namun manakala
aku bisa menghilang, pastilah aku betul-betul bahagia. Aku akan dapat menggaruk
uang di pasar-pasar tanpa diketahui pemiliknya, dan tiap kata ada orang sedang
menghitung uang, uang itu kuambil. Dengan tidak usah bekerja, aku dapat
memiliki banyak uang, dan apa pun kuhendaki pastilah tercapai".
Bila ia
kemudian berhasil dapat menghilang, tentu keinginannya mulur lagi, sehingga ia
ingin bisa terbang, bisa menembus bumi dan seterusnya. Demikianlah mulurnya
keinginannya sampai apa yang diinginkannya tidak dapat ia peroleh, maka
susahlah ia. Jadi jelaslah bahwa lahirnya keinginan dalam usaha mencapai semat
(kekayaan), derajat (kedudukan), kramat (kekuasaanl, apabila sudah terlaksana
pasti akan mulur. Maka senang itu tidak tetap sifatnya.
Mungkret (menyusut)
Demikian pula
rasa susah pun tidak tetap. Karena susah itu disebabkan tidak tercapainya
keinginan yang berwujud rasa tidak enak, menyesal, kecewa, tersinggung, marah,
malu, sakit, terganggu dan sebagainya. Padahal keinginan itu bila tidak
tercapai pasti mungkret (menyusut), dalam arti bahwa apa yang diinginkan itu
berkurang baik dalarm jumlah maupun mutunya, sehingga dapat tercapai, maka
timbullah rasa senang. Jadi rasa susah itu tidak tetap.
Bila keinginan
yang mungkret ini masih tidak terpenuhi, pasti ia akan mungkret lagi.
Mungkretnya keinginan ini baru berhenti bila dapat terpenuhi keinginan itu.
Tentunya apa yang diinginkan itu memang ada atau mudah diperoleh, sehingga keinginan
itu terpenuhi dan timbullah rasa senang. Maka susah itu tidak tetap adanya.
Misalnya orang
lapar ingin makan, tentu dipiiihnya lauk-pauk yang serba lezat, seperti daging,
telur dan sebagainya. Tetapi bila keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pasti mungkret,
sehingga makan nasi dengan garam saja ia sudah senang. Bila nasi dengan garam
pun tidak diperolehnya pasti keinginannya mungkret lagi, sehingga makan ketela
bakar saja ia sudah girang. Bila ketela bakar pun tidak ia peroleh, pasti
keinginannya mungkret lagi, sehingga dengan diteguknya air saja, cukup sejuklah
lidahnya.
Contoh yang
makin jelas lagi ialah bila seorang laki-laki ingin mempunyai seorang isteri,
maka dipilihnya tentu yang cantik, masih perawan, kaya, keturunan priyayi,
cerdas, berbakti, cermat, cinta suami dan seterusnya. Bila
keinginan-keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pun tidak benar-benar celaka,
melainkan susah sebentar, kemudian senang kembali. Oleh karena keinginannya
mungkret, maka rasanya, "Walaupun syarat pilihanku tidak terpenuhi semua,
asal saja cantik wajahnya bolehlah" Jika yang cantik pun tidak
diperolehnya, tentu keinginannya mungkret lagi: "Walaupun tidak cantik
asal saja masih perawan" Bila ini pun tidak berhasil, mungkret lagi
keinginannya "Walaupun seorang janda asal saja belum punya anak."
Bila pilihan ini masih juga gagal, pasti keinginannya mungkret lagi:
"Walaupun banyak anaknya, asalkan saja ia sehat" Bila keinginan ini
pun tidak terpenuhi, pasti mungkret lagi keinginannya: "Walaupun cacad,
asalkan berwujud orang" Padahal mencari isteri dengan syarat asal berwujud
orang saja, pastilah tidak sukar, maka ia lalu merasa senang lagi. Dari sebab
itulah penderita-penderita cacad, baik laki-laki atau perempuan, banyak yang
bersuami/isteri. Sebab satu sama lain berjumpa dalam keadaan sama mungkret
keinginannya. Demikianlah menyusutnya keinginan sampai apa yang diinginkan itu
tercapai, maka timbullah rasa senang. Maka susah itu tidak tetap.
Jadi jelaslah
bahwa senang dan susah itu tidak tetap. Sebab senang itu disebabkan karena
keinginan tercapai, dan keinginan yang tercapai ini mesti mulur sehingga yang
diinginkan tidak mungkin tercapai, maka timbullah rasa susah. Kesusahan itu
disebabkan karena keinginan tidak tercapai, padahal keinginan yang tidak
tercapai ini mesti mungkret sehingga apa yang diinginkan itu mungkin tercapai,
maka akan tercapailah keinginan itu dan rasa senang timbul, jadi keinginan itu
bila mungkret akan mencapai apa yang diinginkan maka timbullah rasa senang, dan
keinginan itu mulur. Mulur ini berlangsung sehingga tidak tercapai apa yang
diinginkan maka timbul rasa susah dan keinginan itu mungkret. Mungkret,
tercapai, senang, mulur lagi. Mulur, tidak tereapai, susah, mungkret lagi. Maka
sifat keinginan itu sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar
mungkret. Hal inilah yang menyebabkan mengapa rasa hidup manusia itu sejak muda
hingga tua, pasti bersifat sebentar senang sebentar susah, sebentar senang,
sebentar susah.
Maturnuwun... sudah memposting ilmu yang penting. Semoga barokah.
BalasHapusSami sami
BalasHapus