WEJANGAN POKOK ILMU BAHAGIA
Hal. 3/5
BAGIAN III
Rasa Abadi
Keinginan itu
bersifat sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret,
rasanya sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Pada
hakekatnya keinginan itu langgeng (abadi), artinya sejak dulu sudah ada, kini
pun ada, kelak pun selalu ada.
Ketika orang
masih dalam kandungan ibunya, keinginannya sudah ada, walaupun tidak
disadarinya. Seperti halnya bayi menangis berkeinginan menyusu, Ketika masih
sebagai darah pun sudah tumbuh keinginan yang menumbuhkan badan, kepala, tubuh,
tangan, kaki dan sebagainya. Ketika belum ada dalam kandungan dan masih ada
pada ayah dan ibunya pada waktu ayah dan ibunya saling mengungkapkan rasa suka
sama suka, hal itu merupakan gejala keinginan manusia yang hendak lahir.
Demikian keinginan
itu tidak berawal, ketika bumi dan langit belum ada, keinginan sudah ada.
Demikian pula keinginan tidak berakhir, bila nanti orang sudah mati, badannya
rusak, busuk, keinginan masih ada saja. Bila nanti bumi dan langit tidak ada,
keinginan masih tetap ada. Jadi keinginan itu tanpa awal dan tanpa akhir. Oleh
karenanya keinginan itu abadi, Sebab keinginan itu barang asal. Barang asal itu
tidak ada asalnya, tetapi justru berupa asal, dari itu abadi. Keinginan ialah
asal dari pada hidup, benih hidup, yang menyebabkan hidup, oleh karenanya
abadi.
Seperti juga
asal semua barang jadi itu bersifat abadi. Wujud barang jadi (bahasa Jawa:
dumadi) itu seperti rokok, korek api, cangkir, piring, rumah, dunia, bintang,
bulan, matahari dan sebagainya. Asal barang jadi misalnya rokok, adalah abadi,
tidak berubah tidak berkurang atau bertambah. Bila rokok itu dibakar, rokok itu
hanya menjadi abu; sedang asal dari pada rokok masih tetap ada, tidak kurang,
hanya wujudnya kini abu. Bila abu itu nanti ditumbuk, hanyalah menjadi tumbukan
abu, sedang asal rokok masih tetap, tidak kurang tidak lebih, yang kini
berwujud tumbukan abu. Sekalipun tumbukan abu ini nanti dibuang ke luar dunia,
asal rokok itu masih tetap ada tidak kurang tidak lebih, hanya kini ada di luar
dunia.
Demikian pula
keinginan, bagaimanapun dihancurkannya melalui kesusahan, penderitaan malu,
tidak akan berubah bersama sifat-sifatnya. Sebab barang abadi itu pasti
bersifat abadi pula. Keinginan itu bersifat sebentar mulur sebentar mungkret,
sebentar mulur sebentar mungkret dan rasanya sebentar senang sebentar susah,
sebentar senang sebentar susah. Sedang rasa manusia pun sebentar senang
sebentar susah, sebentar senang sebentar susah. Jadi keinginan itu adalah
manusia, maka manusia itu abadi (lestari), sebentar senang sebentar susah. Bila
keabadian manusia ini dimengerti, orang akan bebas dari penderitaan neraka
penyesalan dan kekhawatiran.
Sesal - Kuatir
Menyesal ialah
takut akan pengalaman yang telah dialami. Khawatir ialah takut akan pengalaman
yang belum dialami. Menyesal dan khawatir ini yang menyebabkan orang bersedih
hati, prihatin, hingga merasa celaka.
Menyesal ini
rasanya: "Andaikata dulu aku bertindak demikian, bahagialah sudah aku ini,
tidaklah celaka begini." Menyesal ini ialah takut akan pengalaman masa
lampau yang menyebabkannya jatuh celaka, susah selamanya dalam keadaan miskin,
hina, lemah.
Bila orang
mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah ia menasehati dirinya sebagai
berikut: "Walaupun dulu bagaimana saja, pasti rasanya sebentar senang sebentar
susah." Kemudian lenyap penyesalan semacam tadi. Tetapi jika tidak
dimengerti, penyesalan itu berlarut-larut hingga takut akan hal yang aneh-aneh,
seperti takut terkutuk, takut durhaka, rasanya: "Dulu andaikata aku tidak
terkutuk oleh si Anu, tidak durhaka, tentu aku sudah bahagia dan tidak
celaka." Kalau mengerti maka orang dapat menyadari, "Walaupun dulu
terkutuk durhaka atau tidak durhaka, rasanya tentu sebentar senang sebentar
susah," dan lenyaplah penyesalan semacam itu tadi.
Berlarut-larutnya
penyesalan ini sampai menimbulkan ketakutan pada hal yang makin aneh ialah
takut hidupnya tersesat. "Andaikata dulu tidak menjadi anak ibu dan ayah
ini, pasti aku bahagia, dan tidak celaka seperti ini." Tetapi bila
mengerti babwa manusia itu abadi, ia dapat menasehati dirinya sendiri:
"Walaupun dulu menjadi anak ibu-ayah ini atau tidak, tentu rasanya
sebentar senang sebentar susah", maka lenyaplah penyesalan tadi.
Ketakutan hidup
tersesat di atas perinciannya sampai pada takut tersesat mempunyai suami/isteri
dan anak si Anu, rasanya: "Andaikata dulu aku tidak salah memperoleh
suami/isteri dan anak si kunyuk (si dogol) itu, pastilah aku bahagia dan
tidaklah celaka." Tetapi bila ia mengerti bahwa orang itu abadi, dapatlah
ia menyadarkan dirinya: "Walaupun dulu aku mempunyai suami/isteri dan anak
seperti kunyuk-kunyuk itu atau tidak, rasaku tentu sebentar senang, sebentar
susah," maka lenyaplah penyesalan tadi.
Demikian pula
kekhawatiran yang berupa takut akan pengalaman yang belum dialami, kalau-kalau
jatuh celaka, susah selamanya, dalam keadaan miskin, hina, lemah. Rasanya:
"Bagaimanakah nanti akhirnya bila aku tidak mencapai kebahagiaan yang
kucita-citakan, tetapi tetap celaka seperti sekarang ini?" Tetapi jika
orang mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah ia menyadarkan dirinya:
"Walaupun kelak akan terjadi apa saja, misalkan bumi dan langit merapat,
rasanya pasti sebentar senang sebentar susah," maka lenyaplah kekhawatiran
tadi.
Jika tidak
dimengerti, kekhawatiran itu berlarut-larut sehingga takut akan hal yang
aneh-aneh seperti takut kuwalat, takut durhaka. Padahal apakah kuwalat dan
durhaka itu saja tidak dimengerti. Namun ditakuti juga, aneh bukan? Tetapi bila
mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah ia menyadarkan dirinya: "Mana
ada orang kuwalat atau durhaka? Kalau toh ada, rasanya pasti hanya sebentar
senang sebentar susah. Katanya orang kuwalat itu kepalanya di bawah dan kakinya
di atas. Kalau begitu malah bisa merasakannya. Sebab yang sudah dialami
berpuluh-puluh tahun hidup dengan kepala di atas dan kaki di bawah ternyata
tidak enak. Seperti pada waktu cekcok dengan suami/isterinya atau tetangganya.
Lihatlah orang-orang dengan kepala di atas, kaki di bawah itu." Dan
lenyaplah kekhawatiran di atas tadi.
Berlarut-larutnya
kekhawatiran itu sehingga takut akan hal yang semakin aneh seperti mati
tersesat. Alangkah anehnya orang mati bisa tersesat. Tetapi bila mengerti bahwa
manusia itu abadi, dapatlah ia menasehati dirinya: "Bagaimana mungkin
orang mati itu tersesat. Kalau tersesat tentu ke arah hidup yang pernah dialami
ini. Lagi pula jika ada mati tersesat tentu ada pula hidup tersesat. Padahal
ketika hendak hidup tanpa bertanya kepada siapa pun, tanpa bekal apa-apa, ia
menjelma tepat dengan hidung di atas mulut, kuping di kedua sisi, kepala di
atas, kaki di bawah dan sebagainya, melalui jalan yang benar." Kemudian
lenyaplah kekhawatiran yang aneh tadi.
Khawatir takut
mati tersesat ini perinciannya hingga takut setelah mati akan menjelma sebagai
babi-hutan. Alangkah anehnya! Tetapi bila mengerti bahwa manusia itu abadi,
orang dapat menasehati dirinya: "Bagaimanakah orang mati dapat menjelma
menjadi babi-hutan. Andaikatapun benar, maka orang justru dapat merasakan
bagaimana hidup sebagai babi-hutan. Pasti hanya berdengus-dengus mencari ubi.
Dan pastilah tidak takut dihentikan dari pekerjaan, melainkan takut di
semak-semak hutan. Sedangkan yang dialami berpuluh-puluh tahun hidup sebagai
manusia pun tidak enak. Misalnya ketika mencari pinjaman tidak berhasil, atau
ditagih hutangnya tidak sanggup membayarnya. Enakkah hidup sebagai orang?"
Kemudian lenyaplah kekhawatiran tadi.
Menyesal dan
khawatir ini mengandung anggapan atau pendapat bahwa orang itu dapat memperoleh
senang atau susah yang abadi. Maka dengan dikejar secara mati-matian rasa
senang itu dan ditolaknya secara mati-matian rasa susah itu, menimbulkan
ketahayulan pada dirinya yang mengakibatkan penderitaan. Tahayul itu ialah
menghubung-hubungkan sebab dan akibat yang tidak ada sangkut-pautnya. Sebagai
contoh, misalnya orang berdagang sedang sial, tidak berani dagang, maka
berkatalah: "Kesialan ini tentu lantaran aku tidak membakar kemenyan dan
tidak bersembahyang pada malam menjelang hari Jumat yang lalu, sehingga
daganganku tidak laku." Jelaslah membakar kemenyan dan bersembahyang itu
tidak ada sangkut paut dengan kesialan dagangan tidak laku. Namun orang yang bertahayul
itu menghubung-hubungkan juga.
Contoh lain
yang lebih jelas, misalnya seorang anak tengah bermain, tiba-tiba sakit
kejang-kejang, maka orang berkata: "Anak itu pasti dijegal oleh syaitan
penunggu jalan perempatan itu, oleh karena itu kejang-kejang badannya."
Padahal jelas anak sakit kejang tidak bersangkut-paut dengan syaitan penunggu
jalan. Untuk menerangkan syaitan itu apa, orang tidak tahu. Apakah syaitan itu
berkaki dua atau empatkah, bertelur atau menyusuikah, orang tidak tahu. Namun
orang bertahayul menganggapnya bisa menjegal.
Contoh yang
lebih jelas lagi, tatkala gunung Merapi meletus, orang bertahayul
menghubungkannya begini: "Peristiwa itu adalah pernyataan Kanjeng Ratu
Kidul (Ratu Laut Selatan) yang marah lantaran gagal dalam mencari korban untuk
pesta perkawinan putra/putrinya, sehingga diletuskannya gunung Merapi,
beledar-beledur-beledar-beledur." Jelaslah Kanjeng Ratu Kidul tidak ada
sangkut-paut dengan letusan gunung Merapi. Karena siapakah dan apakah Kanjeng
Ratu Kidul itu saja, orang tidak tahu. Namun orang bertahayul memaksa
menghubung-hubungkannya demikian.
Ketahayulan itu
menyebabkan orang bertapa dan berpantang yang aneh-aneh, seperti merendam diri
selama satu jam dalam tempo empat puluh hari, dengan pendapat bahwa: "Jika
setiap malam merendam diri sambil mengucapkan mantera-mantera ini, daiam waktu
empat puluh hari pasti aku akan memperoleh karunia dan senangiah aku
selama-lamanya." Tetapi bila mengerti bahwa manusia itu abadi, teranglah
pandangannya dan tahulah bahwa hasil orang merendam diri selama itu, hanyalah
menggigil kedinginan semata-mata. Bahkan isterinya terlanjur kesepian
kedinginan tidak dapat tidur sebab menunggu-nunggunya. Dalam pada itu mertuanya
pun membenci karena melihat anaknya tidak dilayani sewajarnya melainkan ditinggalkannya
tiap malam hanya untuk merendam diri.
Tindakannya
berpantang yang aneh-aneh itu seperti pantang makan dan pantang tidur. Padahal
orang lapar itu enaknya kalau makan dan orang mengantuk itu enaknya kalau
tidur. Jadi orang itu memantang hal-hal yang enak-enak, namun mengeluh bahwa
tidak pernah mengalami keenakan dalam hidupnya. Tetapi jika mengerti bahwa
manusia itu abadi, teranglah pandangannya, dan mengerti bahwa hasil
berpantangan makan dan tidur itu lapar dan kantuk belaka.
Pantangan
aneh-aneh itu kalau berlarut-larut sehingga berpantang berdekatan dengan
suami/isteri sendiri, enakkah rasa yang berpantang dan yang dipantang itu?
Pastilah tidak. Itu pun belum tentu ia dapat bertahan dalam pantangannya. Nanti
baru berjalan seminggu saja, bila tidak diawasi, diam-diam, sudah menyerobot.
Setelah itu saling menyesali: "Orang sudah dipesan sedemikian rupa! Orang
sedang prihatin bertapa supaya memperoleh kurnia! Mengapa kamu pun masih mau
saja dan kini semua usahaku batal, dan untuk mulai lagi aku tidak
sanggup."
Tetapi jika
orang mengerti bahwa manusia itu abadi, teranglah pandangannya, dan mengerti
bahwa hasil berpantang isteri sendiri adalah tidak betah. Demikian sifat
katahayulan yang mendorong orang bertapa dan berpantang yang bukan-bukan,
karena berpendapat bisa senang atau susah selama-lamanya.
T a b a h (Bhs.Jawa:
Tatag)
Apabila kita
mengerti bahwa menusia itu abadi, keluarlah orang dari neraka menyesal-khawatir
dan masuk surga ketabahan. Ini berarti berani menghadapi segala hal. Berani
menjadi orang kaya atau miskin, menjadi raja atau kuli, menjadi wali (orang
suci) atau bajingan. Karena ia mengerti bahwa kesemuanya itu rasanya pasti
sebentar senang, sebentar susah. Teranglah pandangannya dan mengerti bahwa
semua pengalaman itu tidak ada; yang mengkhawatirkan atau yang sangat menarik
hati.
Pada pokoknya
yang ditakuti itu adalah kesusahan, padahal orang tentu mampu menderitanya.
Sudah terbukti beribu-ribu kesusahan yang dialami, ia mampu menderitanya.
Kesusahan yang paling hebat adalah merasa sangat malu atau menderita sakit
sangat berat. Sedangkan jika hanya sangat malu dan sangat sakit saja, pasti
orang mampu menderitanya. Walaupun ia selalu mengeluh: "Rasa malu kali ini
benar-benar melukai hatiku, aku tidak kuat menanggungnya. Itu lain dengan pengalaman-pengalaman
yang lampau!" Tetapi bila lepas dari neraka menyesal-khawatir dan masuk
surga ketabahan, orang dapat menuntut bukti pada diri sendiri yang sering
bohong. "Malu yang mana yang kau tidak kuat menanggungnya? Kenyataan yang
tengah dialami ini, benar menimbulkan rasa malu, benar-benar menyebabkan kau
meringis sehingga kau benar-benar tidak berani keluar rumah menemui orang.
Namun meskipun demikian kau tetap kuat menanggungnya juga."
Demikian pula
di waktu sakit, orang mengeluh: "Sakitku kali ini benar-benar berat,
benar-benar aku tidak kuat menanggungnya. Lain dengan sakit yang lampau!"
Tetapi bila lepas dari sesal-khawatir serta masuk surga ketabahan, orang dapat
menuntut bukti pada diri-sendiri yang biasa membohong: "Sakit yang manakah
yang kau tidak kuat menderitanya? Kenyataan yang sedang dialami ini benar-benar
sakit berat sehingga kau benar-benar merintih, namun meskipun demikian tetap
kuat menanggungnya. Padahal betapapun hebatnya orang menderita sakit ia hanya
berakhir dengan mati. Sedangkan kalau cuma mati saja ia mesti kuat
menjalaninya, dan itu telah dialami oleh beribu-ribu orang yang mati. Kalau aku
mati, pasti perjalananku sama dengan orang-osang yang telah mati itu."
Oleh karena itu
bila orang kuat menanggung semua pengalaman dan dapat mencukupi apa yang
diperlukannya maka tumbuhlah rasa kaya. Tiap kali merasa malu, asal saja
meringis sudah cukup. Artinya orang tidak kehabisan rasa meringis bila mendapat
malu dan tidak kekurangan rintihan bila menderita sakit. Dan menjelang saat kematian,
asal saja berdiam diri sudah cukup.
Pada pokoknya
yang diinginkan adalah rasa senang dan rasa senang ini pasti tercapai. Di mana
saja, kapan saja, bagaimana saja, arang mesti mengalami senang. Misalnya orang
menderita susah karena terbakar habis rumahnya. Bila ia menemukan sebuah
celananya saja yang tidak turut terbakar, ia tetap bisa merasa senang.
"Wah, untunglah celanaku tidak terbakar." Misalnya orang menderita
susah karena terlindas mobil kakinya hingga putus. Pada waktu sadar dari pingsannya
ia pun masih dapat merasa senang. "Wah, untunglah kepalaku tidak terlindas
sekalian." Bila kepalanya pun kelindas hingga mati, masih ia bisa senang,
"Wah, untunglah isteriku tidak ikut terlindas."
Apabila orang
mengerti bahwa semua peristiwa-peristiwa itu tidak ada yang mengkhawatirkan dan
tidak ada pula yang sangat menarik hati, maka teranglah pandangannya, serta
bebaslah ia dari barang-barang di atas bumi dan di kolong langit ini. Karena ia
mengerti bahwa barang-barang di atas bumi di kolong langit itu tidak dapat
menyebabkan orang bahagia atau celaka. Juga tidak dapat menyebabkan orang
senang atau susah.
Karena pada
hakekatnya, yang menyebabkan senang itu ialah keinginannya tercapai, dan yang
menyebabkan susah itu ialah keinginannya tidak tercapai. Tetapi bukanlah
barang-barang yang diinginkannya.
Misalnya bila
hujan dianggap menyenangkan, maka tiap kali turun hujan orang mesti senang.
Tetapi kenyataannya tidak demikian. Bagi orang yang sedang menyelenggarakan
pertunjukan ketoprak (sandiwara jawa), bila hujan turun maka ia merasa susah.
Kebalikannya, bila hujan dianggap menyusahkan, tiap kali hujan turun orang
mesti merasa susah. Kenyataannya pun tidak demikian. Bagi petani yang sedang
menanam padi, bila hujan turun maka ia merasa senang.
Contoh lain
yang lebih gamblang dan terang. Bila orang bersuami/isteri yang mempunyai anak
dianggap senang, maka setiap orang yang bersuami/isteri dan beranak tentu tetap
senang saja. Padahal yang sesungguhnya tidak demikian. Bila sedang bercekcok
dengan suami/isterinya, dan anak-anaknya rewel, orang pasti merasa susah.
Kebalikannya, jika bersuami/isteri dan beranak itu dianggap susah, maka setiap
orang yang bersuami/isteri dan beranak tentu tetap susah saja. Padahal
sesungguhnya tidak demikian. Bila sedang bercumbu-mesra dengan suami/isteri dan
menimang-nimang anaknya, pasti orang merasa senang.
Jadi jelaslah
bahwa barang-barang itu tidak menyebabkan orang senang atau susah. Oleh karena
itu, di atas bumi dan di kolong langit ini tidak ada barang-barang yang pantas
dicari, ditolaknya atau dihindari secara mati-matian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar