WEJANGAN POKOK ILMU BAHAGIA
Hal. 4/5
BAGIAN IV
Mengawasi Keinginan
Manusia itu
semua sama yakni abadi, rasanya sebentar senang, sebentar susah, sebentar
senang, sebentar susah, demikian seterusnya. Bila kebenaran itu dimengerti,
keluarlah orang dari penderitaan neraka iri-sombong, sesal-khawatir yang
menyebabkan prihatin, celaka, dan masuklah ia dalam surga tenteram dan tabah
yang menyebabkan orang bersuka-cita, bahagia.
Setelah
bersuka-cita dan bahagia, maka dapatlah orang menyadari dirinya sendiri sewaktu
timbul keinginan apa-apa. Setiap keinginan itu pasti mengandung rasa takut
kalau-kalau tidak tercapai. Keinginan inilah yang segera diyakinkannya:
"Keinginan itu jika tercapai tidak menimbulkan bahagia, melainkan senang
sebentar yang kemudian akan susah lagi. Dan bila tidak tercapai pun tidak
menyebabkan celaka, hanyalah susah sebentar yang kemudian akan senang
lagi." Maka ia bisa menantangnya: "Silakan keinginan, berusahalah
mati-matian mencari senang-senang abadi, dan berdayalah mati-matian menolak
susah abadi, pastilah tidak berhasil. Kamu (keinginan) tidak mengkhawatirkan
lagi".
Bila orang
dapat meyakinkan keinginannya sendiri demikian, lenyaplah rasa prihatin.
Berbareng lenyapnya prihatin, tumbuhlah si pengawas keinginannya sendiri yang
mengerti keinginannya sendiri.
Benih Pengetahuan
Si pengawas
keinginannya sendiri ini ialah rasa aku, rasa ada. Orang itu tentu berasa aku,
tidak bisa tidak berasa aku. Setiap berasa aku tentu berasa ada. Berasa aku tetapi
tidak berasa ada, tidaklah demikian.
Si pengawas itu
abadi karena ia itu barang asal. Barang asal itu tidak ada asalnya untuk
membuatnya, tetapi malahan sebagai asal dari semua barang dan hal. Ia itu
asalnya rasa aku-senang, aku-susah. Si pengawas ini abadi dalam mengawasi
keinginannya sendiri yang bersifat sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar
mulur, sebentar mungkret dengan rasa sebentar senang, sebentar susah, sebentar
senang, sebentar susah. Rasa abadi yang mengawasi keinginannya sendiri itu,
ialah abadi senang dan abadi bahagia.
Ketika si
pengawas belum timbul, orang merasa "akulah berkeinginan, aku senang, aku
susah." Ia itu masih sebagai benih pengetahuan yang mengetahui
tindak-tanduk manusia, serta belum timbul rasa senang dan bahagia. Wujudnya si
pengawas ketika itu belum timbul, tetapi masih sebagai benih ialah seperti
contoh berikut ini. Misalnya orang ingin buang air, dalam diri orang itu ada
yang mengetahui dan mengerti "Aku ini tergesa-gesa menuju ke kakus,
pastilah ingin buang-air." Yang mengerti bahwa dirinya ingin buang air
ini, tidaklah ikut berkeinginan buang air, akan tetapi hanya mengerti
kehendaknya saja, yaitu si pengawas ketika belum tumbuh tetapi masih sebagai
benih pengetahuan.
Contoh lain
yang lebih jelas ialah orang yang makan cabe merasa pedas. Dalam diri orang itu
ada yang mengetahui dan mengerti "Aku ini megap-megap mencari minuman,
tentulah kepedasan." Yang mengerti bahwa dirinya kepedasan ini tidaklah
turut kepedasan, melainkan mengerti bahwa dirinya kepedasan, yaitu ketika si
pengawas belum timbul tetapi masih sebagai benih pengetahuan.
Contoh lain
yang lebih dekat, misalkan orang merasa malu, dalam diri orang itu tentu ada
yang mengetahui dan mengerti: "Aku ini pasti mendapat malu, karena
meringis-ringis dan tidak berani keluar rumah." Yang mengerti dirinya
memperoleh malu ini, tidaklah turut merasa malu, melainkan mengertinya saja,
yaitu ketika si pengawas belum timbul, tetapi masih sebagai benih pengetahuan.
Dan orang merasa "Akulah berkeinginan, yang senang, yang susah, yang malu,
yang kepedasan, yang ingin buang air, adalah aku."
Bila si
pengawas sudah timbul, lenyaplah rasa prihatin, kemudian orang merasa "Aku
bukanlah keinginan", dari sini ia akan merasa "Yang senang dan susah
bukanlah aku", dari sini ia merasa "Yang malu, yang kepedasan, yang
ingin buang air bukanlah aku."
B a h a g i a
Maka orang akan
merasa "Aku mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia." Bila orang
sudah mempunyai rasa "Aku mengawasi keinginan, aku senang, aku
bahagia", maka dalam mengawasi keinginannya sendiri dan perjalanan
hidupnya sendiri, ia merasa "Itu bukanlah aku." Begitu juga dalam
menanggapi dunia dengan segenap isinya dan semua kejadian-kejadian, orang pun
merasa "Itu bukanlah aku."
Demikian rasa
aku itu bahagia dan abadi. Karena itu, di mana saja, kapan saja, bagaimana
saja, bahagialah orang itu. Demikianlah pengetahuan orang hidup bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar