Syarat dan Rintangan Perkembangan Ukuran Keempat
Syarat perkembangan ukuran keempat tidak lain ialah
pengertian bahwa rasa enak dalam berhubungan dengan orang lain hanya didapat
dengan jalan menghayati rasa orang lain. Serupa halnya rasa enak dalam hubungan
dengan benda-benda hanyalah dengan jalan mengerti benda-benda itu. Pengertian
di atas menimbulkan ikhtiar supaya bisa menghayati rasa orang lain. Ikhtiar
yang timbul dari pengertian itu membuat orang tidak henti-hentinya berusaha
sehingga mencapai tujuan itu.
Rintangan-rintangan yang menghalangi perkembangan
ukuran keempat ialah rasa luka. Pengalaman tidak enak yang lampau, pedih di
hati menjadi luka-hati. Pada waktu berhubungan dengan orang lain, luka itu
merupakan rasa balas dendam. Maka luka itu menghalangi orang merasakan rasa
orang lain, karena luka itu menjadi kacamata dalam mengamati orang lain. Jika
seorang laki-laki pernah bercerai dalam perkawinan, ia menanggapi wanita lain
hatinya sama jahat seperti istri yang diceraikannya dan sebagainya.
Obat luka itu ialah pengertian, bahwa hubungan yang
tidak enak itu disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Pengakuan salah itu
mendorong orang mencari kesalahan sendiri sampai bertemu. Bila si salah yang
menyebabkan luka itu ia temukan, orang kemudian tidak lagi bersatu dengan si
salah, dan bisa merasakan: "yang salah bukanlah aku".
Bila si salah itu diteliti, dapat diketahui bahwa dulu
ketika orang itu melakukan hubungan, ia tidak menghayati serta bertentangan
dengan rasa orang yang dihadapinya, dan itu disebabkan terhalang oleh
kepentingan dirinya sendiri. Jadi jelaslah bahwa kebutuhan diri sendiri ialah
sumber dari pertikaian dan hubungan tidak enak.
Bila diteliti lebih jauh, dapat diketahui bahwa
kebutuhan diri sendiri yang menimbulkan sengketa itu, ialah kebutuhan yang
telah terlepas keluar dari pokoknya. Seperti kebutuhan sandang yang melebihi
orang lain, ini sudah keluar dari pokok kebutuhan. Jadi ingin berlebih-lebihan
dalam hal sandang bukanlah kebutuhan pokok.
Rasa ingin berlebih-lebihan itu bila diteliti tentu
sebagai berikut "bila terlaksana akan senang selamanya, dan bila tidak
terlaksana akan susah selamanya". Padahal senang atau susah selamanya itu
tidak pernah ada. Jadi dalam meneliti kebutuhan sendiri ini, akan diketahui
rasa sendiri yang mencari senang selamanya.
Rasa mencari senang selamanya inilah sumber luka. Luka
ini melahirkan sikap suka dan benci terhadap hubungannya. Maka suka dan benci
ini menghalangi orang menghayati rasa orang lain dalam berhubungan.
Jadi mengobati luka ialah meneliti rasa lukanya
sendiri sampai pada rasa yang menyebabkannya. Bila diteliti demikian, luka itu
lenyap dan ini berarti orang merasa bahwa "luka itu bukanlah aku".
Jadi berlangsungnya luka itu disebabkan pengertian bahwa yang luka itu aku.
Bila salah satu luka lenyap, akan muncul luka lain,
dan bila luka ini pun diobati sehingga lenyap, pasti akan muncul lagi luka baru
lain. Demikian seterusnya sampai semua luka sirna.
Bila luka lama lenyap, orang akan dapat melihat luka
baru yang mudah diobati, sebelum melahirkan tindakan yang membuat luka
berikutnya. Bila luka baru senantiasa diketahui dan diobati, maka orang dapat
melihat proses perkembangan rasa ketika menimbulkan luka. Keterangannya sebagai
berikut.
Marah merupakan salah satu rasa yang melukai. Padahal
bila melukai orang lain, diri sendiri pun terkena luka. Jadi marah adalah rasa
melukai pihak sana dan pihak sini.
Ketika si marah belum reda, luka baru belumlah terlihat.
Tetapi bila si marah reda, maka luka baru jadi terlihatan belumuran darah,
berwujud menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Bila kemudian
luka itu dibalut dengan rasa "merasa salah" maka luka baru itu tidak
nyeri lagi.
Di sini ada kesulitan demikian. Orang marah, sering
tidak mengerti bahwa ia sedang marah. Sebaliknya, melihat orang lain marah
adalah mudah. Maka tindakan pertama untuk mengetahui marahnya sendiri (yang
menimbulkan luka), ialah menyamakan marah orang lain dengan marahnya sendiri,
dan memisahkan rasa marah dari tindakan yang berasal dari rasa marah.
Bila rasa marah diketahui sebelum melahirkan tindakan,
sehingga orang merasa "yang marah bukanlah aku", marah itu berubah
sifatnya, karena berganti unsurnya. Sebelum diketahui, marah itu tercampur rasa
merasa-benar; setelah diketahui, tercampur rasa merasa-salah. Maka berkelahilah
rasa merasa-benar dengan rasa merasa-salah. Bila si merasa-salah menang, rasa
marah lenyap dan tidak menimbulkan luka baru. Demikianlah bekerjanya rasa yang
membuat luka. Jadi jiwa marah itu adalah si merasa-benar.
Kecuali dari diri sendiri, orang pun menerima marah
dari lawannya. Tentu saja marah dari orang lain ini membangkitkan marah dalam
diri sendiri. Sebagaimana dijelaskan di muka, lenyapnya marah mesti disebabkan
oleh rasa merasa-salah.
Ikhtiar memusnahkan marah sering keliru, yaitu usaha
supaya orang lain merasa salah. Ikhtiar semacam itu, bagaikan memadamkan rumah
terbakar dengan menyiramkan bensin. Peristiwa semacam itu terjadi pada setiap
perkelahian.
Seharusnya dimulai dari merasa salah diri sendiri.
Bila kesalahan diri sendiri ditemukan, orang baru dapat menyatakan bahwa
lawannya benar. Dengan jalan membenarkan orang lain, dapat diredakan rasa marah
orang lain.
Demikianlah cara mengobati luka, meredakan luka dan
menolak serangan yang melukai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar