WEJANGAN POKOK ILMU BAHAGIA
Hal. 2/5
BAGIAN II
Rasa Sama
Manusia itu
mempunyai keinginan, yang bersifat sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar
mulur, sebentar mungkret. Sifat ini yang menyebabkan rasa hidup orang sejak
kecil sampai tua, pasti bersifat sebentar senang, sebentar susah, sebentar
senang, sebentar susah. Siapa saja dan di mana saja rasa hidup orang tentu
bersifat sebentar senang, sebentar susah, karena semuanya mempunyai keinginan.
Jika tidak mempunyai keinginan, maka ia bukanlah manusia, dan tiap keinginan
pasti bersifat seperti di atas tadi.
Jadi rasa hidup
manusia sedunia ini sama saja, yakni pasti sebentar senang, sebentar susah,
sebentar senang, sebentar susah. Sekalipun orang kaya, miskin, raja, kuli, wali
(aulia), bajingan, rasa hidupnya sama saja, ialah sebentar senang, sebentar
susah. Yang sama adalah rasanya senang-susah, lama-cepatnya, berat-ringannya.
Sedang yang berbeda adalah halnya yang disenangi/disusahi.
Umpama orang
kaya senang dapat mendirikan pabrik dan orang miskin senang dapat mendirikan
kendil (periuk nasi). Kesenangan kedua orang tadi pada hakekatnya sama. Seorang
raja merasa senang bahwa ia dapat menyerbu sebuah kota lawannya, dan memboyong
(membawa pulang) puteri. Sedangkan seorang kuli kereta-api merasa senang bila
dapat menjelajahi gerbong-gerbong dan memboyong (mengangkat-angkat) koper.
Kedua orang itu sama di dalam merasa senang. Seorang wali (orang sakti) merasa
senang bila dapat terbang di angkasa, sedangkan seorang bajingan merasa senang
pula dapat mencopet barang, kedua-duanya sama di dalam merasa senang.
Tetapi seorang
miskin sering beranggapan bahwa orang kaya itu tidak pernah susah. Anggapan
demikian itu keliru, sebab diri orang kaya pun berisi keinginan yang bila
tercapai pasti mulur. Misalnya seorang kaya raya, memiliki perusahaan kendaraan
bis. Walaupun sudah mempunyai beratus-ratus bis, keinginannya tentu mulur. Ia
tentu ingin mempunyai kereta api. Setelah mempunyai kereta api, pasti
keinginannya mulur lagi, ia ingin mempunyai kapal laut. Sebelum keinginan
mempunyai kapal laut tercapai, tiba-tiba ia menghadapi masalah berdirinya
perusahaan bis baru sehingga ia merasa susah karena khawatir kalau disaingi.
Maka orang kaya bagaimanapun, rasa hidupnya tentu sebentar senang, sebentar
susah, sebentar senang, sebentar susah.
Demikian pula
seorang wali (aulia) sering dikira tidak pernah susah. Perkiraan demikian itu
keliru, karena wali pun berisikan keinginan. Misalnya seorang wali yang sakti,
seperti dalam dongengnya Sinuhun Kanjeng Sultan Agung di Mataram. Ia raja dan
juga wali dan ketika ia hendak pergi ke Banten dengan jalan terbang, dan itu
terlaksana, maka senanglah ia. Tetapi ketika hendak pulang ke Mataram, juru
tamannya meninggalkannya, maka rontoklah bulu sayapnya, hingga susahlah ia.
Jika wali yang bagaimana pun, rasa hidupnya pasti sebentar senang, sebentar susah.
Apabila mengerti bahwa rasa orang di dunia sama saja, yakni sebentar senang,
sebentar susah, bebaslah kita dari penderitaan neraka iri hati dan kesombongan.
Iri dan Sombong
Iri adalah
merasa kalah terhadap orang lain, dan sombong adalah merasa menang terhadap
orang lain. Iri dan sombong inilah yang menyebabkan orang berusaha keras,
mati-matian, berjungkir balik, untuk memperoleh semat (kekayaan), derajat
(kedudukan) dan kramat (kekuasaan). Hatinya berkata: "Sebaiknya kucari
uang sebanyak-banyaknya agar menjadi kaya seperti orang itu, dan jangan sampai
miskin seperti orang ini; agar bisa mengejek orang ini dan jangan sampai diejek
orang itu. Dan kuharus memperoleh derajat yang luhur, supaya mulia seperti
orang itu, dan jangan sampai hina seperti orang ini, sehingga terhormat seperti
orang itu, dan tidak diremehkan seperti orang ini. Harus kucari kramat
(kekuasaan) yang besar, supaya berkuasa dan dapat menaklukkan orang itu. Jangan
sampai lemah dan ditaklukkan orang ini." Begitu hebat usahanya, hingga ia merasa
"lebih baik mati jika tidak tercapai"
Perasaan
"lebih baik mati jika tidak tercapai" itu bila sering terlintas dalam
pikiran, dapat membangunkan tekad yang aneh-aneh dan bertapa yang aneh-aneh.
Orang yang sedang dihinggapi iri-sombong ini cenderung mencari guru-guru atau
dukun-dukun. Pada guru atau dukun itu dimintanya petunjuk: "Bagaimana
kyai, hidupku ini mengapa senantiasa susah. Apakah memang nasibku harus dibenci
orang? Bagaimana baiknya?" Jika guru atau dukun itu mengatakan: "Sanggupkah
anda bertapa secara ditanam selama empat puluh hari? Itu memang berat tetapi
bila dikurniakan, tentu nasibmu akan lebih baik." Makin gelap pikirannya
namun karena terbenam dalam rasa iri-sombong, ia akan menyanggupinya:
"Baiklah saya bersedia ditanam, asal dapat kurnia. Andaikata aku gagal dan
mati, itu pun justru lebih baik dari pada hidup sekali saja menjadi buah ejekan
tetangga-tetangga, kesana diejek, kesini diejek." Bilamana benar-benar
digali lobang untuknya dan ia memeriksanya serta menengok ke kanan ke kiri,
tiba-tiba ia merasa ngeri: "Kyai, jika penguburan diriku ditangguhkan saja
sampai setelah tanggal dua saja, bagaimana?"
Bila orang
mengerti bahwa rasa orang sedunia itu sama, teranglah pandangannya. Kemudian ia
tahu bahwa orang yang ditanam selama empat puluh hari, pasti akan mati karena
tidak dapat bernapas. Mengingat bahwa jika dibungkam selama dua menit saja,
orang sudah kehabisan napas, bagaimanakah bila ditanam empat puluh hari?
Idam-idaman
orang yang iri hati atau sombong ialah asal dapat melebihi orang lain dalam
segala hal. Dalam hal makanan, pakaian, perumahan, keluarga, anak-anak dan
sebagainya, ia ingin melebihi orang lain. Sedangkan orang-orang lain pun ingin
menyaingi atau melebihi orang lain lagi. Dari itu beribu-ribu, berjuta-juta
manusia, bila dijangkiti iri-sombong, tindakannya hanyalah satu sama lain
bersaingan sehingga semuanya jatuh ke bawah.
Bila dalam
usahanya untuk melampaui orang lain ia sering tergelincir bahkan ia justru
dilampaui orang lain, maka kesallah hatinya, "Baik, sekalipun aku kalah
asal saja tetanggaku itu hidupnya merana, maka senanglah hatiku."
Sedangkan tetangganya pun berusaha menyusahkan orang lain. Dari itu
beribu-ribu, berjuta-juta manusia bila dijangkiti iri-sombong, tindakannya
hanyalah saling menyusahkan.
Bila dalam
usahanya menyusahkan orang lain, sering berbalik menyusahkan diri sendiri maka
ia masih tinggal dapat mengumpat orang lain. Sedangkan orang lain pun mengumpat
orang lain lagi. Maka beribu-ribu, berjuta-juta manusia, bila dihinggapi
iri-sombong, tindakannya hanya saling mengumpat. Bahkan tiap kali
bercakap-cakap dengan suami/isterinya tidak lain hanya menjelekkan tetangganya,
sampai pada soal yang kecil-kecil, misalnya: "Sesungguhnya si anu itu kan
sudah payah betul. Lihat saja surat gadainya sudah daluwarsa; pohon-pohon
kelapanya sudah digadaikan dan ia hanya kebagian yang hanya cukup untuk
dimakannya sendiri."
Padahal untuk
melebihi seseorang saja sudah susah-payah, memaksakan diri bertirakat sampai
luar-batas, Nglawet (nama tempat bertapa), Gua Langse (di pantai Parangtritis,
Yogya) dan Gedancer (tempat bertapa). Bila ia telah dapat melebihi seseorang,
ia akan melihat bahwa ada orang lain lagi yang melebihinya. Sedangkan jumlah
orang yang melebihinya tidak terhitung banyaknya.
Apalagi untuk
melebihi orang lain dalam hal perincian, pastilah tidak akan berhasil,
sekalipun sudah bertirakat segala. Misalnya orang melebihi orang Iain dalam
kekayaannya, tetapi kalah dalam kedudukannya, lalu berusaha keras untuk
melebihi kedudukannya. Kalau sudah melebihi kedudukannya, tetapi kalah
kekuasaannya, ia akan berusaha keras untuk melebihi kekuasaannya. Kalau sudah
melebihi kekuasaannya, tetapi kalah tampan wajahnya, ia akan berusaha keras
untuk melebihi ketampanannya. Misalkan ia sudah menang dalam hal ketampanan wajahnya,
tetapi kalah muda dalam usia, ia pun berusaha keras untuk membuat dirinya lebih
muda tampaknya. Karena dalam janggrungan, pesta dengan tarian dimana penari
wanita menari bersama dengan tamu laki-laki, orang-orang muda dipersilakan
masuk gelanggang untuk menari lebih dulu. Akan tetapi bila ia lebih muda ia pun
berusaha keras untuk membuat dirinya lebih tua, karena orang-orang tua itu
dalam pesta-pesta makan selalu dipilihkan makanan yang serba empuk.
Perasaan orang
yang irihati-sombong ini, tiap kali menyumpahi orang, jika tidak melebihi tentu
dilebihinya. Bila melebihi, dalam hatinya mengejek, "Lihat si Anu itu
akhirnya celaka, karena tidak mau percaya padaku, tidak mau meniru jejakku,
tentu saja celaka." Tetapi bila diungguli ia merasa penasaran: "Tidak
heran si Anu itu kaya, karena bukan main kikirnya. Bila ia buang air kedapatan
kacang kedele dalam kotorannya, maka kedele itu dikorekinya dari
kotorannya."
Padahal tiap
kali orang ke luar rumah pasti ia bertemu orang yang jika tidak melebihi tentu
dilebihinya. Maka hidup orang sedari kecil sehingga tua, bila dihinggapi
iri-sombong, hanya merasa mengejek dan diejek orang.
Jika orang
hendak mengetahui rasa iri-sombong atau lebihnya sendiri, yang jelas dalam
pergaulan, maka hal itu dapat ia jalankan bila sedang nonton pasar malam,
menghadiri pesta perjamuan dan sebagainya. Bila di situ orang merasa kalah baik
sarungnya ia akan meraba-raba ikat kepalanya dan berkata: "Ikat kepalaku
lebih baru." Bila ikat kepalanya dirasakannya masih kalah, diangkatlah
dadanya dan diperlihatkan bajunya "Bajuku memang baik." Bila ia
merasa kalah, diangkatlah sarungnya dan diperlihatkan celana dalamnya,
"Celanaku menang lebar." Bila toh masih merasa kalah, jengkellah ia,
maka dikeluarkan pipanya, "Tetapi pipaku menang panjang."
Pandangan orang
yang iri-sombong terhadap semua keadaan dan kejadian di dunia, terbalik-balik,
tidak benar. Misalkan orang ingin memiliki sepeda, dari kerasnya keinginannya
ia merasa "Benar-benar aku menderita bila tidak memiliki sepeda, kalau
barang-barang lainnya tidak kuhiraukan." Maka jika dijumpainya seorang
mengendarai sepeda, apalagi jika pengendara itu tetangganya yang dibencinya dan
hendak dilebihinya, dan justru dirinya kini jatuh dikalahkan maka begitu ia
mendengar suara "kring" bel sepeda itu, terkejutlah ia serentak.
Pulang rumah dengan gelisah tidak bisa tidur, hatinya penasaran dan
dijelekkannya lawannya, "Tidak heran si Anu itu memiliki sepeda, karena
hidupnya tidak lumrah (lazim), bermuka tebal. Lain dengan aku ini yang tidak
tega hati menyikut orang." Demikian pandangan orang terbalik-balik
disebabkan rasa iri-sombong. Benarkah orang mengendarai sepeda itu sengaja
membuatnya terkejut, gelisah? Tentu tidak!
Dari sangat
hebatnya pandangan terbalik-balik itu sehingga membikin orang, sehabis
memandang perempuan cantik atau laki-laki tampan, maka membenci
suami/isterinya. Hatinya mengomel, "Bila kurasakan, suami/isteriku ini
memang sungguh-sungguh jelek, ya rupanya, ya jelek hatinya. Kalau sampai
menjadi jodohku ini pasti tidak melalui jalan sewajarnya. Dulunya pasti aku
diguna-guna sehingga aku terpikat kepadanya." Demikianlah
terbalik-baliknya pandangan orang yang iri-sombong. Padahal wanita cantik atau
laki-laki tampan pastilah tidak sengaja membikin ia benci pada suami/isterinya.
Tenteram
Apabila orang
mengerti bahwa rasa orang sedunia sama saja, bebaslah ia dari penderitaan
neraka irihati-sombong, kemudian bisa masuk sorga ketenteraman. Artinya dalam
segala hal bertindak seenaknya, sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, semestinya
dan sebenarnya. Ia akan dapat merasakan rasa hidup yang sebenar-benarnya, yaitu
mesti sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.
Sebab ketika
dihinggapi iri-sombong, orang tidak dapat merasakan rasa hidup yang sebenarnya.
Dalam hal makan misalnya, walaupun setiap hari makan, orang tidak merasakan
makanannya, tetapi yang dirasakan hanyalah makanan tetangga-tetangganya.
Kemudian mengeluhlah ia, "Kalau si Anu itu memang senang hidupnya,
makannya terjamin tiga kali sehari, sepiring penuh, lauk-pauknya enak-enak;
berganti-ganti telur daging. Lain dengan diriku ini serba celaka, makannya
tidak menentu, lauk-pauknya tidak lain tidak hanya garam sambel, paling mujur
tempe. Bila ingin daging ayam, hanya mendapat pekerjaan membubuti (mencabuti)
bulunya dan membersihkan isi perutnya."
Bilamana bebas
dari siksaan neraka iri-sombong dan masuk ke dalam sorga ketenteraman, ia akan
dapat menasihati dirinya sebagai berikut, "Lho, bagaimana ini, orang mau
makan kok menggerutu. Makannya enak atau tidak, jika enak teruskanlah, jika
tidak enak hentikanlah." Teranglah pandangannya, maka mengerti mgksud
tujuan orang makan yaitu enak (lezat) dan kenyang. Maksud tujuan ini sudah
tercapai, karena tiap kali merasa Iapar, makanlah segala apa yang lazim dimakan
orang, maka pasti enak, dan kalau banyak jumlahnya pasti kenyang. Maka tenaga
kaki-tangan berkelebihan untuk mencari makanan yang enak serta mengenyangkan
itu.
Jadi rasa hidup
yang sebenarnya sebentar senang, sebentar susah, dalam hal makan pasti sebentar
enak, sebentar tidak enak, sebentar kenyang, sebentar lapar. Tetapi bila
dihinggapi iri-sombong, orang tidak memperdulikan enak atau kenyang, melainkan
berusaha melebihi orang lain. Jika hendak mengetahui iri-sombong atau
keinginannya sendiri untuk melebihi orang lain, yang jelas bila kebetulan
sedang bersama orang banyak dalam kedai makanan. Baru saja datang orang segera
berteriak "Godog!" (minta direbuskan suatu makanan). Kemudian baru
saja masakan tadi disodorkan, ia sudah minta lagi "Goreng! Cabenya biar
banyak!" Bila dilihatnya tamu lain memegang telur, ia pun mengambil ayam
goreng, dipegangnya dengan kedua tangannya. Jika toh masih merasa kalah,
hatinya penasaran diangkat kakinya keatas meja sembari bersiul, sekalipun tidak
bersuara.
Oleh karena
dihinggapi iri-sombong sehingga gelap pandangannya, maka walaupun sudah
beranak-cucu, orang tidak dapat merasakan rasa bersuami/isteri. Setiap kali
menjumpai suami/isterinya, yang dirasakan suami/isteri orang lain, "Si Anu
itu hidupnya memang enak lantaran mempunyai suami/isteri yang menyenangkan,
perhatiannya besar, lagi setia. Lain dengan diriku ini serba celaka, mempunyai
suami/isteri rewel sekali, sedikit-dikit marah, sedikit-dikit marah."
Bila sudah
bebas dari siksaan neraka iri-sombong dan masuk sorga ketenteraman, orang lalu
dapat menasihati dirinya: "O, bagaimana ini, orang bersuami/isteri kok
mengomel. Sesungguhnya perkawinannya enak atau tidak, jika enak diteruskan,
jika tidak enak ya diceraikan saja." Maka tenanglah pandangannya dan
mengerti bahwa rasa bersuami/isteri itu nikmat.
Bila ingin
mengerti kenikmatan bersuami/isteri, ialah pada waktu malam hari udara dingin,
lagi turun hujan, berdesak-desak dengan suami/isteri pun hangat. Bila
pinggangnya kaku pun lantas lemas, tidurnya pulas, bangun pagi merasa segar,
bekerja penuh semangat. Kebalikannya jika tidak bersuami/isteri tidak demikian
nikmat. Pada malam yang dingin, apalagi turun hujan, badannya benar-benar
dingin. berdesak-desak hanya dengan balai-balai, pinggangnya kaku tetap kaku,
ingin tidur tidak dapat memejamkan mata, dari pukul sembilan hingga pukul tiga
malam belum juga pulas karena memikirkan suami/isteri orang lain. Maka pada duda,
janda, jejaka, gadis, bila dijangkiti iri-sombong, seringkali betah bergadang.
Tetapi bila tidak, hanyalah sekali tempo saja.
Jadi rasa hidup
yang sebenarnya ialah mesti sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang,
sebentar susah. Dalam perkawinan tentu sebentar nikmat, sebentar tidak nikmat,
sebentar nikmat, sebentar tidak nikmat. Bila keluar dari neraka iri-sombong dan
masuk surga ketenteraman, orang akan bebas dari kewajiban yang berat-berat.
Kebiasaan orang itu mewajibkan dirinya sendiri: "Orang hidup itu harus
begini, makannya harus begini, pakaiannya harus begini, rumahnya harus begini,
tindak tanduk terhadap tetangga, suami/isteri serta anak-anaknya harus
begini." Semua keharusan-keharusan itu adalah hal-hal yang berat sehingga
tidak dapat dilaksanakan, karena bertentangan antara kewajiban yang satu dengan
kewajiban yang lain.
Sebagai contoh,
misalnya orang menerima undangan dari tetangganya yang punya hajat pesta
mengawinkan anaknya. Ia akan mewajibkan dirinya untuk datang hadir dengan pakaian
baru, serta membawa uang cukup untuk menyumbang dan main kartu domino. Tetapi
keadaannya tidak memungkinkannya untuk mempunyai pakaian baru dan uang, oleh
karena itu ia merasa susah. Hendak datang hadir takut, dan hendak tidak hadir
pun takut.
Bila lepas dari
neraka iri-sombong dan masuk surga ketenteraman ia akan dapat menasihati
dirinya "Lho, bagaimana langkahku ini, mau datang takut, mau tidak datang
pun takut. Apakah harus setengah datang dan setengah tidak datang? Lalu
bagaimana wujud tindakan setengah datang dan setengah tidak datang itu? Apakah
melongok-longok di depan pagar saja, ataukah terus menerobos masuk ke dapur,
membantu cuci piring?" Dengan kesadaran di atas, pandangannya semakin
terang: "Sudahlah, jika mau datang, ya datang saja, jika tidak mau datang,
ya tidak usah datang. BiIa tidak punya pakaian baru, pakailah pakaian lama, hal
itu sudah sebenarnya. Bila tidak punya uang, maka tidak dapat menyumbang dan
main domino, pun sudah selayaknya." Jadi rasa hidup yang benar adalah
sebentar senang, sebentar susah, yang dalam hal menentukan kewajiban mesti
suatu waktu begini, suatu waktu tidak begini.
Bila orang
mengerti bahwa rasa hidup manusia sedunia sama saja, yakni pasti sebentar
senang, sebentar susah, bebaslah ia dari neraka iri-sombong dan masuklah dalam
surga ketenteraman. Kemudian dalam usahanya mencari kekayaan, kedudukan,
kekuasaan, dengan cara seenaknya, sebutuhnya, seperlunya, secukupnya,
semestinya, sebenarnya, yaitu hidup tenteram.