RASA BEBAS
Hal. 2/2
Bila kita
mengerti bahwa sifat diri-sendiri yang buas, ampuh dan sewenang-wenang ini sama
dengan orang lain, kita segera mengerti bahwa tidak ada orang yang baik.
Pengertian itu membuat kita tidak lagi dapat dikelabui oleh pernyataan adanya
orang baik. Dunia menjadi kacau-balau sekarang ini, karena manusia kena
dikelabui oleh pernyataan tentang adanya orang baik. Sering kali dikabarkan
bahwa di sana ada orang baik, lantas kita ikut-ikutan menyatakan benar ia baik,
dan mempercayainya saja; tetapi pada akhirnya kita kecewa.
Jadi bila kita
mengerti bahwa kita sendiri buas, ampuh, sewenang-wenang sama dengan orang
lain; kita tidak dapat ditipu oleh pernyataan adanya orang baik, dan tidak
dapat menipu pada diri-sendiri, dengan berpura-pura baik. Hal mana berarti kita
melihat kenyataan yang ada pada diri-sendiri. Pengertian diri-sendiri inilah,
yang seharusnya dipakai sebagai landasan membangun masyarakat.
Pada masa
sekarang ini, pembangunan masyarakat kita tidak berdasar atas hal-hal yang
nyata, tetapi berdasarkan atas cita-cita yang tidak nyata, yang dapat
menimbulkan bentrokan. Membangun masyarakat yang luas itu, harus dimulai dari
masyarakat lingkungan kecil; yaitu lingkungan keluarga.
Bila kita
mengetahui kenyataan kita sendiri, kita dapat mengetahui pula kenyataan keadaan
anak kita. Kalau diselidiki, ternyata anak itu dendam terhadap kita. Mengetahui
dendam anak kita itu lebih mudah dari pada mengertinya. Misalnya pada masa
kanak-kanak, kita setiap kali menderita susah, kita selalu menyalahkan orang
tua kita. "Kalau orang tuaku tidak begini atau begitu, tentu aku tidak
akan menderita seperti sekarang." Kemudian kita dapat pula mengetahui
kenyataan isteri/suami kita, yang kecewa terhadap kita; karena mereka merasa
menjadi korban dari watak sewenang-wenang kita.
Dalam membangun
masyarakat, orang sering kali menanyakan: "Apakah seseorang itu
diperuntukkan masyarakat, atau masyarakat itu diperuntukkan seseorang?"
Pertanyaan tersebut telah lama usianya, dan memperoleh dua macam jawaban. Yaitu
yang pertama, bahwa seseorang untuk masyarakat dan yang kedua adalah masyarakat
untuk seseorang.
Jawaban bahwa
masyarakat itu untuk seseorang, ini berarti yang dipentingkan adalah
perseorangan. Masyarakat harus memberi kemerdekaan kepada seseorang.
Kemerdekaan yang diberikan kepada setiap orang itu, dipergunakan oleh
masing-masing orang, untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, tidak kenal
batas. Sehingga menimbulkan bentrokan dengan kepentingan masyarakat. Hal itu
kemudian meletus menjadi pemberontakan atau peperangan. Padahal perang adalah
bertentangan dengan tujuan hidup. Kalau tujuan hidup ialah untuk melangsungkan
kehidupan, sedangkan perang adalah bunuh membunuh. Maka perang, dengan dalih
apapun adalah jahat dan keliru.
Jawaban lainnya
bahwa seseorang untuk masyarakat, ini pun keliru. Karena pertanyaannya sendiri
keliru, maka bila dijawab, jawabannya pasti keliru. Kekeliruan ini terdapat
pada kedua pertanyaan, yang berupa pemisah seseorang dari masyarakat. Sedang
keadaan yang sebenarnya, seseorang dan masyarakat bukan dua badan terpisah,
melainkan satu badan kesatuan. Masyarakat itu terjadi dari hubungan seorang
dengan seorang, yang diatur dengan peraturan-peraturan, perjanjian-perjanjian
atau undang-undang. Undang-undang ini jika ditulis dinamakan tata-negara, jika
tidak ditulis dinamakan aturan masyarakat. Undang-undang negara adalah
perjanjian dalam hubungan antara warga negara, Undang-undang masyarakat ialah
perjanjian dalam hubungan antara perseorangan. Sifat undang-undang atau
hubungan Itu tergantung pada sikap jiwa orangnya. Bila jiwa orang yang
berhubungan itu tenteram dan damai, maka hubungannya (masyarakat) pun tenteram
dan damai. Tetapi bila orangnya gelisah, hubungannya (masyarakat) pun
menggelisahkan. Jadi kalau undang-undang atau hubungan itu ibarat asapnya,
orangnya adalah sebagai apinya. Maka bila usaha kita hanya menghilangkan
asapnya, tanpa memadamkan apinya, usaha itu pasti akan sia-sia saja.
Manusia
kerapkali mengalami kesulitan-kesulitan yang berupa pertikaian. Tiap-tiap
pertikaian selalu dipecahkan dengan undang-undang, tetapi tidak pernah
berhasil. Demikian menurut sejarah, telah terjadi juga di negara kita Indonesia.
Pada jaman Majapahit, timbul perselisihan yang mengobarkan perang saudara.
Kesudahan dalam perang saudara itu, Majapahit kalah dan berdirilah kerajaan
Demak, serta mengganti undang-undang negara. Apakah setelah diadakan
undang-undang baru, lantas tidak timbul pertikaian lagi? Tidak, pertikaian
berjalan terus, sehingga pecah perang saudara lagi. Perang itu berakhir dengan
kerajaan Demak kalah, dan yang menang mendirikan kerajaan di Mataram. Kerajaan
baru ini pun mengganti undang-undang lama dengan yang baru. Setelah ada
undang-undang baru, apakah tiada perselisihan lagi? Tidak, perselisihan masih
saja terjadi, dan mengobarkan perang saudara lagi, dengan kesudahan Mataram
kalah. Kemudian datanglah penjajah Belanda, yang menamakan tanah air kita Hindia
Belanda, dan mengadakan undang-undang baru. Apakah setelah undang-undang baru
pertikaian lantas lenyap? Tidak, pertikaian tetap terjadi. Sampai pada tanggal
17 Agustus 1945, kita memberontak sehingga lenyaplah penjajah itu. Dan lahirlah
Republik Indonesia, dengan undang-undang baru yakni undang-undang berdasar
Pancasila. Apakah setelah ada undang-undang tdak ada perselisihan?
Saudara-saudara dapat membuktikan sendiri, bahwa perselisihan senantiasa ada
saja. Jadi jelaslah bahwa kesulitan itu tidak dapat diselesaikan dengan
undang-undang.
Kita bangsa
Indonesia dalam membangun negara Indonesia kerapkali salah, yaitu yang dibangun
bukan negara Indonesia. Misalnya pada jaman Majapahit, terjadi pecah perang
saudara yang berakhir runtuhnya kerajaan Majapahit. Keruntuhan Majapahit itu,
tidak berarti meruntuhkan negara Indonesia. Maka negara Indonesia ini tidak
dapat diketahui sejak kapan adanya. Catatan yang ada dan yang tertulis
dibatu-batu pun tidak dapat mengungkapkan, sehingga orang tidak dapat
menafsirkan kapan mulainya, dan akan berakhirnya negara Indonesia. Oleh karena
demikian panjang usianya, maka dapat dikatakan negara Indonesia itu langgeng
abadi. Membangun negara Indonesia yang abadi, tidak seperti kerajaan Majapahit
yang tidak abadi. Keruntuhan kerajaan Majapahit, tidak berarti keruntuhan
negara Indonesia, melainkan keruntuhan golongan pemimpin Majapahit, yang
tindakannya sewenang-wenang. Begitu juga kehancuran kerajaan-kerajaan Demak,
Mataram, pemerintah Hindia Belanda, tidak berarti kehancuran negara Indonesia,
kecuaii kehancuran pemimpin-pemimpinnya yang bertindak sewenang-wenang. Jadi
kerajaan Majapahit, Demak, Mataram, Hindia Belanda dan Republik Indonesia itu,
bukanlah negara Indonesia yang abadi melainkan sebagai ombak negaranya. Ombak
itu kerapkali mengalami pasang-surut. Tatkala kerajaan Majapahit sedang
gilang-gemilang, ombak negara Indonesia mengalami pasang. Tetapi ketika
kerajaan di atas runtuh, ombak negara Indonesia mengalami surut. Ombak yang
pasang-surut itu, tidak mempengaruhi adanya negara Indonesia.
Maka untuk
membangun negara Indonesia, terlebih dahulu harus dilihat sebabnya pasang-surut
ombak negara Indonesia. Keterangannya sebagai berikut. Setiap negara di mana
saja, pada jaman apa saja, selalu dikuasai oleh segolongan warga negaranya,
walaupun dalam undang-undang dasarnya, dinyatakan bahwa negara itu harus
dikuasai oleh seluruh warganya, pada kenyataannya negara itu hanya dikuasai
oleh segolongan warganya. Golongan yang menguasai itu ialah golongan
terpelajar. Golongan terpelajar itu, ialah golongan yang mengerti undang-undang
negara. Golongan terpelajar jaman dulu dan jaman sekarang tentu saja berbeda,
tetapi pada dasarnya adalah sama, ialah yang mengerti undang-undang.
Setiap golongan
yang menguasai negara, pasti mabuk kekuasaan, dan mabuk kuasa ini pasti
melahirkan perbuatan sewenang-wenang. Tindakan sewenang-wenang ini, selanjutnya
membangkitkan pemberontakan, yang dapat menggulingkan pemerintahan yang ada.
Bila kadang-kadang pemberontakan itu gagal, hal mana disebabkan belum matangnya
tindakan sewenang-wenang itu. Misalnya pada jaman Majapahit ada pemberontakan
yang gagal, yang dilakukan oleh Minakjinggo dan lain-lain. Kegagalan itu
disebabkan perbuatan pemimpin-pemimpin Majapahit, yang sewenang-wenang itu,
belum matang {belum cukup hebat). Tetapi setelah tindakan sewenang wenang dari
pemimpin Majapahit matang, atau sudah sampai batas waktunya, pemberontakan yang
timbul itu berhasil, dan mereka itu lalu mendirikan kerajaan Demak. Demikianlah
sejarah negara Indonesia, yang hanya berisi segolongan warganya berkuasa,
mereka lantas mabuk, dan bertindak sewenang-wenang, yang mengundang
pemberontakan. Sehingga kini belum mengalami kemajuan.
Kalau kita
hendak membangun negara Indonesia yang abadi, haruslah dicari jawaban atas
pertanyaan, "Bagaimanakah caranya, orang berkuasa, tetapi tidak mabuk dan
tidak bertindak sewenang-wenang". Kalau kita tidak dapat menjawab
pertanyaan ini, berarti kita tidak dapat membangun negara Indonesia yang abadi.
Sehingga kini, belum ada suatu jaminan untuk menjamin orang yang berkuasa pasti
tidak mabuk dan tidak bertindak sewenang-wenang. Yang ada hanyalah baru
janji-janji, atau kesanggupan-kesanggupan dari golongan-golongan. Yaitu bila
nanti golongannya berkuasa, negara ini hendak diaturnya begini-begitu.
Jaminan
satu-satunya agar supaya kita dalam memegang kekuasaan tidak akan mabuk dan
tidak akan bertindak sewenang-wenang ialah bila kita yakin bahwa manakala kita
berkuasa, pasti mabuk kekuasaan dan pasti berbuat sewenang-wenang. Karena
biasanya, belum berkuasa saja, kita sudah merencanakan caranya, bagaimana kita
akan mabuk dan sewenang-wenang. Misalnya seorang tua yang giginya ompong, ia
merencanakan mabuknya: "Nanti bila aku berkuasa, pasti kubeli gigi
palsu." Jika kita mengerti bahwa diri-sendiri ini buas, ampuh,
sewenang-wenang, rencana mabuk di atas dapat kita teliti sebagai berikut:
"Aku hendak membeli gigi palsu ini untuk apa? Kalau hanya untuk menggigit
uli saja, tidak usah pakai gigi pun dapat." Jelaslah gigi itu akan dipakai
menggigit kulit yang masih ulet.
Jadi untuk
membangun negara Indonesia yang abadi itu, kita harus senantiasa mengawasi dan
mengerti sifat diri-sendiri, yang galak, ampuh dan sewenang-wenang. Setiap
detik langkah kita, tentu berasal dari rasa mabuk kuasa dan watak
sewenang-wenang. Tetapi sifat mabuk dan sewenang-wenang itu, jika diteliti
sedalam-dalamnya sehingga selesai, rasa itu tidak melahirkan perbuatan
sewenang-wenang. Namun setelah penelitian tadi selesai, pada saat berikutnya
tentu timbul rasa sewenang-wenang lagi. Dan jika diteliti lagi, segera selesai
laqi. Jadi penelitian diri-sendiri itu hendaknya dilakukan setiap detik, pada
setiap rasa yang timbul. Demikianlah caranya membangun negara Indonesia yang
abadi.
Melihat dan
mengerti akan sifat-sifat diri-sendiri, yang sewenang-wenang itu, menimbulkan
revolusi jiwa. Revolusi jiwa adalah perubahan jiwa, yang terjadi dalam diri
kita sendiri, dan mengakibatkan perubahan sikap kita terhadap diri-sendiri dan
orang lain. Melihat sifat kita sendiri yang galak, ampuh, sewenang-wenang, sama
dengan setiap orang, maka kita tidak dapat melengahkannya barang sekejap saja.
Karena kelengahan terhadap diri kita sendiri barang sedetik saja, cukuplah
menyempatkan kita untuk mengganggu orang lain atau diri-sendiri.
Jadi jika kita
hendak membangun negara Indonesia yang abadi, kita harus senantiasa mengawasi
diri kita sendiri, yang berwatak tetap sewenang-wenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar