FILSAFAT RASA HIDUP
Hal. 1/5
Filsafat Rasa Hidup
Filsafat ialah
pengetahuan tentang segala apa yang ada. Filsafat memberi jawaban atas
pertanyaan "Apakah hakikatnya segala yang ada di atas bumi dan di kolong
langit?"
Segala apa yang
ada ini dapat dibagi dua bagian, yaitu benda hidup dan benda tidak hidup. Benda
tidak hidup berupa cangkir, piring, meja, kursi, batu dan sebagainya. Benda
hidup berupa tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia. Jadi segala apa yang ada hanya
terdiri dari benda hidup dan benda tidak hidup, selain itu tidak ada.
Benda tidak
hidup tidak bergerak, kecuali bila digerakkan oleh benda lain. Sedangkan benda
hidup bergerak walaupun tidak digerakkan oleh benda lain. Dengan demikian maka
hidup itu bersifat gerak pribadi (dapat bergerak sendiri).
Gerak dan diam
ialah sifat laku (bhs. Jawa: lelampahan). Diam ialah
tetap pada tempatnya, dan bergerak ialah berpindah tempat, walaupun yang
bergerak hanya bagian benda itu. Jadi hidup itu bersifat gerak. Yang bergerak
ialah satu persatu benda jadi. Wujud satuan benda jadi ialah hewan, manusia,
meja, kursi dan sebagainya. Wujud manusia sebagai benda disebut badan (raga).
Raga manusia senantiasa dapat bergerak sendiri. Kalau raga itu tidak dapat lagi
bergerak sendiri, maka raga itu disebut mati. Jadi mati ialah tidak lagi dapat
bergerak sendiri.
Kalau kita
mengerti bahwa hidup ialah laku, maka orang bebas dari anggapan bahwa hidup
ialah benda. Anggapan bahwa hidup itu benda, menimbulkan persoalan yang berupa
pertanyaan sebagai berikut, "Bila orang telah meninggal, maka akan ke
manakah hidupnya?". Teranglah pertanyaan ini menanyakan tempat benda,
yaitu si hidup yang dianggapnya benda.
Yang memerlukan
tempat ialah benda, tetapi gerak tidak memerlukan tempat. Misalnya duduk ialah
suatu gerak, dan oleh karena itu tidak memerlukan tempat. Yang membutuhkan
tempat ialah raga yang duduk; seperti halnya si Dadap duduk di kursi. Jadi yang
memerlukan tempat di kursi ialah raga si Dadap.
Laku dapat
dibagi-bagi menurut artinya. Bagian-bagian laku merupakan rentetan kejadian
yang saling kait-mengait dalam hubungan sebab dan akibat, yang berlangsung di
dalam waktu (jaman). Maka laku memakan waktu.
Benda hidup
dapat dibagi menjadi tiga golongan, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
Benda hidup yang dinamakan manusia, ia merasa hidup. Jadi manusia mempunyai
rasa hidup. Rasa hidup inilah yang mendorong manusia bergerak.
Di sini perlu
diselingi keterangan, bahwa tindakan manusia itu terdorong oleh perasaannya.
Orang mencari minum karena terdorong oleh rasa haus, dan orang ingin tidur
karena terdorong oleh rasa kantuk.
Bahkan bukan
saja gerak manusia, tetapi gerak semua benda hidup, tumbuh-tumbuhan atau hewan,
juga didorong oleh rasa hidup. Karena gerak benda hidup terdorong oleh rasa
hidup, maka maksud gerak semua benda hidup ialah supaya hidupnya berlangsung
terus. Maka rasa hidup menolak kematian.
Sebagai contoh,
misalnya pohon mangga itu bergerak, dan akar-akarnya masuk ke dalam tanah
mencari makanan, tentu dengan maksud agar hidupnya berlangsung walaupun tidak
disadari. Setelah besar (dewasa) pohon mangga itu tidak berhenti di situ saja,
tetapi tentu akan berbunga, dan bunga ini menjadi putik yang kemudian menjadi
buah. Buah mangga itu setelah masak akan jatuh di tanah, yang kemudian tumbuh
menjadi pohon mangga lain lagi. Maka bila pohon yang tua mati, yang muda akan
menggantikan hidupnya.
Keadaan seperti
di atas yang melangsungkan jenis pohon mangga, karena pohon muda itu pun bila
sudah dewasa akan berbuah, dan demikian seterusnya. Jadi selain melangsungkan
hidupnya, gerakan pohon mangga itu pun melangsungkan jenisnya.
Di sini
jelaslah bahwa gerak pohon mempunyai dua macam maksud, yakni agar dapat
melangsungkan hidupnya dan melangsungkan jenisnya. Demikian juga maksud gerak
hewan dan manusia. Maka maksud gerak bagi pohon, hewan dan manusia ialah sama,
yaitu supaya dapat melangsungkan hidup dan jenisnya.
Gerak manusia
yang ditujukan untuk melangsungkan hidupnya seperti makan, berpakaian,
bertempat tinggal (bhs. Jawa: pangan, sandang, papan) disebut memenuhi kebutuhan hidup (bhs. Jawa: pangupa jiwa). Bila tidak makan, manusia akan menjadi sakit, dan kemudian mati. Maka
makan ialah kebutuhan hidup. Kegunaan pakaian ialah untuk melindungi badan dari
hawa panas atau dingin. Karena bila terserang panas atau dingin yang hebat, badan
menjadi sakit, dan kemudian mati. Maka pakaian merupakan kebutuhan hidup.
Kegunaan tempat tinggal ialah untuk beristirahat atau tidur. Bila tidak tidur
orang menjadi sakit, dan kemudian mati. Maka tempat tinggal atau perumahan
merupakan kebutuhan hidup.
Gerak manusia
yang ditujukan untuk melangsungkan jenisnya berupa perkawinan. Bila tidak
kawin, orang tidak dapat beranak-cucu, hingga habislah jenis manusia. Maka
perkawinan merupakan kebutuhan hidup.
Demikianlah,
"pangupa jiwa" dan perkawinan menjadi kebutuhan hidup. Bila kebutuhan
hidupnya tidak terpenuhi maka orang akan mati atau tidak akan berketurunan.
Oleh karena itu, bila kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi, orang merasa senang
dan bila tidak, orang merasa susah. Maka rasa hidup ini menimbulkan takut mati
dan takut tidak berketurunan, dan mendorongnya untuk menghindari apa yang dapat
menyebabkan ia mati atau tidak mempunyai keturunan.
Penyakit,
kelaparan, ketelanjangan, tidak bertempat tinggal dan sebagainya, merupakan
sebab kematian. Yang menyebabkan tidak berketurunan, ialah tidak dapat jodoh,
perceraian, mandul, dan sebagainya. Jadi takut mati dan takut tidak mempunyai
keturunan, menurut rasa hidup ialah wajar.
Bila jiwa
mengalami kelainan, sering orang melakukan pantang makan, pantang tidur, pantang
istri/suami dan sebagainya. Kelainan jiwa ini disebabkan karena keinginan
memperoleh keunggulan dalam suatu hal (bhs. Jawa: linangkung) atau karunia dari Yang Mahakuasa. Menolak kebutuhan hidup demikian itu
tidak wajar.
Menolak
kebutuhan hidup menimbulkan perang batin. Padahal perang batin mengakibatkan
penderitaan. Maka menolak kebutuhan hidup berarti mengalami penderitaan jiwa
(bhs. Jawa: cilaka).
Bagaimanakah
perang batin itu timbul? Seseorang yang pantang makan tentu akan merasa lapar.
Di situ rasa ingin makan bertentangan dengan rasa pantang makan, maka
terjadilah perang batin. Dalam perang batin kadang-kadang diri sendiri menjadi
"yang ingin makan", dan kadang-kadang menjadi "yang pantang
makan". Ketika menjadi "yang ingin makan", rasanya "aku ingin
makan". Ketika menjadi "yang pantang makan", rasanya "aku
pantang makan". Akulah yang menguasai nafsuku, dan yang ingin makan ialah
godaan. Seolah-olah dirinya sendiri pecah menjadi dua. Demikian kebingungan
seorang bila timbul perang batin, sehingga sangat sukar untuk mengatakan yang
manakah dirinya sendiri.
Apabila orang
menyadari kelainan dalam jiwanya, yang berupa keinginannya memperoleh
keunggulan atau karunia, perang batin itu sirna. Lenyapnya perang batin,
membangunkan rasa tenteram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar