Perselisihan
yang Disebabkan Orang Keliru Menghayati Rasa Orang Lain
Dalam pergaulan banyak terjadi perselisihan yang
disebabkan kekeliruan orang dalam menghayati rasa orang lain. Bahkan sering
makin rapat pergaulannya makin hebat pula perselisihannya, seperti halnya dalam
pergaulan antara suami-istri.
Bahkan pokok rasa yang dipakai untuk landasan
berkeluarga saja sudah salah. Landasan rasa itu ialah: "Bila orang itu
menjadi suami/istriku, pasti akan senang sekali." Rasa demikian itu pada
hakekatnya tidak memperhatikan rasa calon suami/istrinya. Tidak dipertimbangkan
apakah mereka akan senang atau tidak sebagai suami/istrinya. Ia semata-mata
mengejar kenikmatannya sendiri.
Dalam pada itu calon suami/istrinya pun hanya mengejar
kenikmatan sendiri. Sudah tentu suami-istri yang berbekal rasa mencari enaknya
sendiri-sendiri merasa tidak aman dan kecewa. Bekal rasa inilah yang
menyebabkan perceraian dan perpisahan sementara. Suami-istri tadi tidak dapat
menghayati rasa pihak lain, karena tertutup oleh kepentingannya masing-masing,
sehingga mengakibatkan perselisihan dan perpisahan. Hal inilah yang menimbulkan
anggapan bahwa suami-istri adalah musuh sebantal.
Pokok rasa untuk landasan bersuami-istri yang enak,
ialah keinginan untuk mengenakkan suami/istrinya. Perkembangan bekal rasa itu
membangkitkan ikhtiar mencari keenakan calon jodohnya. Usaha tersebut cepat
atau lambat akan ditemukannya, akan tetapi mungkin juga ia akan gagal.
Kramadangsa *)
memiliki keistimewaan masing-masing, yang lain daripada yang lain. Perbedaan
ciri-ciri Kramadangsa itu menyebabkan perbedaan dalam penilaian orang per orang
atas benda dan keadaan. Yaitu dalam keadaan yang sama ada orang yang merasa
susah dan celaka, dan ada pula yang merasa senang dan bahagia.
Misalnya, orang yang tidak rukun dalam perkawinannya,
akan menganggap bahwa jika ia berganti suami/istri ia akan bahagia, walaupun
hal itu baru dikhayalkan saja. Tetapi bagi seseorang yang jujur, berganti
suami/istri itu ialah perbuatan yang tercela. Jadi langkah pertama untuk
membahagiakan suami/istri ialah mengetahui keistimewaan Kramadangsanya
(kepribadiannya). Jadi keenakan dalam hubungan yang rapat, harus terlebih
dahulu mengetahui Kramadangsa (pribadi) pihak yang dihubungi. Berdasarkan
inilah orang dapat bertindak untuk mengenakkan pihak yang dihubunginya, dan
menghindari tindakan yang tidak mengenakkannya. Jadi hubungan yang tidak enak
itu disebabkan karena tidak adanya penghayatan sifat khusus Kramadangsa pihak
yang dihubunginya.
Kepentingan diri-sendiri yang menutupi rasa orang
lain, berupa catatan-catatan lama yang senantiasa berpautan dengan
diri-sendiri. Bila catatan lama itu dipelajari, sehingga dihayati sebagai
"itu bukan aku", catatan lama itu mudah disisihkan dan tidak menutupi
lagi. Jadi catatan yang menutupi ialah catatan yang diakui "inilah
aku".
Wujud ukuran keempat itu ialah sebagai berikut.
Walaupun tidak disengaja sering orang merasakan rasa orang lain atau rasa
hewan, tanpa dirintangi oleh kepentingan sendiri. Seperti orang tidak sampai
hati untuk menyaksikan ayam disembelih, meskipun ia suka makan dagingnya; tidak
sampai hati karena ia dapat menghayati rasa ayam yang tidak mau disembelih.
Ada lagi suatu contoh tentang orang yang dapat
menghayati rasa hewan, yakni bila orang merasa gembira ketika mendengar burung
berkicau gembira. Kegembiraan burung itu menular kepada orang yang
mendengarnya, dan ini menyebabkan orang senang memelihara burung.
Bila orang mengerti bahwa tanpa disengaja ia dapat
menghayati rasa hewan, maka orang pun akan dapat mempelajarinya dengan sengaja.
Oleh karena sederhana maka rasa hewan ini lebih mudah dipelajari, daripada rasa
manusia yang sangat banyak seluk beluknya dan liku-likunya. Maka sebelum
berlatih untuk menghayati rasa orang, terlebih dahulu berlatih untuk menghayati
rasa hewan; dan setelah berhasil menghayati rasa seekor hewan, lebih mudahlah
orang berusaha menghayati dan mempelajari rasa hewan lainnya. Misalnya
menghayati rasa seekor "gangsir" (semacam cengkrik) yang sedang
"nyentir" (berbunyi), gembira dan bangga. Hewan itu tengah
membanggakan kesaktiannya. Demikian wujud ukuran keempat.
Menghayati rasa dengan sengaja dapat menjadi
pengetahuan (Bhs. Jawa:kawruh).
Tetapi bila tidak disengaja, maka tidak akan menjadi pengetahuan. Pengalaman
yang menjadi ilmu pengetahuan ini mudah dimanfaatkan oleh yang mengalami dan
oleh orang lain.
Rasa orang lain yang dipelajari timbul dalam rasa
orang yang mempelajari, pada awalnya seakan-akan adalah rasa orang yang
mempelajari tersebut. Bila rasa tadi dipelajari sehingga yang mempelajari
merasa "rasa ini bukan aku", ia akan dapat membedakan dan menyamakan
rasa itu dengan rasanya sendiri, yang juga "bukan aku". Demikian cara
merasakan rasa orang lain sehingga menjadi ilmu.
Bila ukuran keempat ini makin berkembang, orang dapat
berusaha menghayati rasa kanak-kanak. Rasa kanak-kanak ini, karena lebih
sederhana daripada rasa orang dewasa, juga lebih mudah dipelajarinya. Dengan
mulai mempelajari rasa kanak-kanak, maka lebih mudahlah kita kemudian
mempelajari rasa orang dewasa.
Kaum ibu dapat menghayati rasa anak kecilnya. Tetapi
penghayatan ini sering tanpa disengaja, sehingga pengalaman itu tidak menjadi
ilmu.
Bagi anak kecil, proses hidup yang wajar akan
dialaminya, selalu menjadi idam-idaman. Misalnya, anak yang dapat merangkak
dalam beberapa bulan, tentu mengidamkan akan dapat berdiri. Maka anak yang
dapat berdiri pertama kali, merasa gembira dan bangga, bagaikan "gangsir
nyentir" kedua-duanya bangga akan kepandaian masing-masing.
Bila ukuran keempat makin berkembang, maka orang dapat
menghayati rasa anak yang telah dewasa, seperti jejaka atau gadis. Rasa jejaka
yang mudah dipelajari ialah ketika habis mandi kemudian bercermin dan membuat
belahan rambutnya dengan sisir. Ia pun merasa gembira dan bangga seperti
"gangsir nyentir", kedua-duanya sama memperlihatkan kepandaiannya.
Demikian pula rasa gadis yang mudah dipelajari, ialah pada waktu ia sedang
bercermin sambil menggosok giginya, ia memandang bayangan cermin lebih dua
puluh kali. Rasa gadis itu pun gembira dan bangga seperti "gangsir
nyentir" itu.
Semakin ukuran keempatnya berkembang, orang dapat
menghayati rasa mempelai baru, yang merasa gembira dan bangga karena memperoleh
kepandaian baru, sama dengan "gangsir nyentir".
Bila ukuran keempat semakin maju lagi, orang dapat
menghayati rasa yang lebih rumit, tanpa dirintangi oleh kepentingan sendiri.
Misalnya kita mendengarkan seseorang berbicara, kita dapat menghayati rasa
orang yang sedang berbicara, walaupun rasa itu tidak diungkapkan dengan
kata-kata.
Sering dalam mendengarkan orang berbicara, kita
bersitegang (ada desakan, merasa tidak sabar -- ed.) ingin segera mengutarakan
tanggapan kita terhadap pembicaraan itu. Bila kita setuju dengan pembicaraan
itu, kita bersitegang ingin mengutarakan ketidaksetujuan kita. Bila keinginan
bersitegang itu berhenti/hilang dan perhatian kita tetap pada rasa orang yang
berbicara, maka kita dapat menghayati rasa orang yang berbicara itu secara
tenang.
Bila ukuran keempat semakin berkembang, pada waktu
orang membaca buku atau karangan dalam surat kabar, ia dapat menghayati rasa
pengarangnya tanpa dirintangi oleh kepentingan sendiri. Kepentingan sendiri
yang merintangi itu adalah rasa suka atau benci terhadap pengarangnya. Bila
rasa suka-benci berhenti/hilang, sedang perhatiannya tetap pada rasa si
pengarang, ia dapat menghayati rasa pengarangnya.
Demikian ukuran keempat sebagai alat manusia untuk
merasakan rasa orang lain. Alat ini jika tidak cukup terdidik, tidak akan
mencapai perkembangan yang semestinya. Adapun cara pendidikannya ialah sebagai
berikut ini.
*) "Kramadangsa" adalah istilah
ciptaan Ki Ageng Suryomentaram, yang dipergunakan untuk mengistilahkan
kepribadian seseorang dengan nama dan sifatnya yang khas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar