ILMU JIWA KRAMADANGSA
Hal. 4/4
BAGIAN IV
Catatan-catatan
yang lain pun semua dapat keliru, tetapi tidak akan saya terangkan satu
persatu, karena akan makan banyak waktu. Selanjutnya saudara-saudara dapat
meneliti bersama-sama kawan-kawan lain, atau dengan saudara-saudara yang baru
mendengarkan sekarang.
Jadi
catatan-catatan yang berjuta-juta banyaknya dalam diri kita sendiri dapat
keliru. Bila catatan keliru itu sudah diketahui, maka akan ada catatan baru
yang benar. Kemudian catatan lama yany keliru bertarung dengan catatan baru
yang benar. Jika dalam perkelahian itu, catatan lama (yang keliru) kalah,
matilah catatan lama itu. Catatan yang mati itu tidak mengganggu kita lagi.
Jadi bila
rasa-rasa yang muncul dari dalam diri kita, diteliti sehingga selesai,
penghalang yang berupa anggapan benar itu jebol. Barulah kita mengetahui
kekeliruan catatan-catatan itu, dan rasa aku si Kramadangsa diam atau mati.
Bersamaan dengan itu lahirlah rasa manusia tanpa ciri.
Ukuran keempat
ialah sifat manusia tanpa ciri, dan ukuran ketiga ialah sifat Kramadangsa, atau
manusia memakai ciri-ciri. Ciri-ciri itu dapat diibaratkan ekor, yang berupa
jenis dan golongan; seperti: laki-laki, perempuan, tua, muda, kaya, miskin,
pangkat tinggi, pangkat rendah dan sebagainya. Segala apa yang membedakan
seseorang dengan seseorang lain ialah ciri atau ekor. Ciri-ciri atau ekor-ekor
inilah yang menyebabkan orang, pada waktu berhubungan dengan sesama orang, tidak
dapat bertemu sebagai manusia dengan manusia tanpa ciri. Tetapi yang bertemu
hanyalah ciri-ciri atau ekor masing-masing. Oleh karenanya mereka pasti
berselisihan.
Misalnya
seorang kaya berjumpa dengan seorang miskin, yang berjumpa ialah rasa kaya di
satu fihak dan rasa miskin di fihak lain. Maka mereka pasti bertikai dan ejek
mengejek. Si kaya mengejek si miskin: "Ah, orang melarat ini, biasanya
semula bicara baik-baik, lama kelamaan pasti minta berhutang". Si miskin
pun mengejek si kaya: "Ah, orang kaya ini, bicara baik-baik,
ujung-ujungnya hanya akan menyuruh saja. Pukul tiga dini hari membangunkan
orang tidur hanya untuk menyuruh. Mentang-mentang banyak uang. Tapi akau kok
mau juga disuruh-suruh.
Demikianlah,
Kramadangsa atau manusia berciri atau berekor, bila bergaul tidak dapat bertemu
secara manusia dengan manusia, melainkan sebagai ekor dengan ekor, maka itu
mereka berselisih.
Demikian pula
bila seorang wali (orang sakti, aulia) bertemu dengan seorang bajingan, mereka
tidak dapat berbicara sebagai manusia dengan manusia. Tetapi sebagai wali dan
bajingan, yaitu ekor masing-masing. Si Wali mengejek si bajingan: "Ah,
bajingan ini biasa, diajak bicara baik-baik, tapi begitu kita lengah sedikit,
segera ia mencopet". Dan si bajingan pun mengejek si Wali: "Ah, Wali
ini biasa, diajak bicara baik-baik, begitu kita lengah, ia segera
mengutuk". Demikianlah Kramadangsa atau rasa kita sendiri yang berciri dan
berekor, tidak dapat bergaul secara manusia dengan manusia.
Jadi tumbuhnya
jiwa manusia tanpa ciri dalam diri kita, bila kita mengetahui ciri-ciri kita.
Ciri-ciri itu berpusat pada aku Kramadangsa, yang muncul sebagai tanggapan rasa
suka atau benci. Bila ciri-ciri itu diketahui, Kramadangsa mati dan lahirlah
manusia tanpa ciri. Manusia tanpa ciri ini bila berhubungan dengan orang lain
akan damai, karena ia merasa sama. Perbedaannya hanya pada ciri cirinya.
Ciri atau ekor
orang itu mudah diketahui sewaktu ia berada dalam pergaulan umum, misalnya
dalam bis, kereta api, bioskop dan sebagainya. Umpama si Kramadangsa, yakni
manusia pakai ciri atau ekor, sedang di dalam kereta api, duduk berdampingan
dengan seorang yang belum dikenalnya. Bila ia ingin berbicara, tentu dimulai
dengan meraba-raba ekornya dan ditanyanya: "Saudara pergi ke mana? Dari
mana? Menjabat apa? Anak saudara berapa? Yang sudah kawin berapa? Saudara masuk
agama apa dan masuk partai apa? Kalau pertanyaan-pertanyaan itu sudah dijawab,
baru mereka melihat ekor masing-masing. Kemudian berjumpalah ekor dengan ekor,
bercakap-cakap dengan tak putus-putus. Apabila bicara, ekor itu menggunakan
dirinya sendiri sebagai patokan, supaya ditiru oleh semua orang. Semboyannya;
"Kalau saya..." Maka ekor dengan ekor itu, dalam pembicaraan memakai
semboyan "Kalau saya..." "Kalau saya begini....." Dan pihak
satunya menjawab: "Wah, kalau saya ... begini," yang akan dijawab
"Ah tidak, kalau saya begini...!" Kadang-kadang ekor dengan ekor
sampai semalam suntuk saling memamerkan "Kalau saya" nya
masing-masing.
Contoh lain,
ada seorang laki-laki duduk dalam kereta-api. Sebenarnya ia sudah mengantuk,
tetapi tatkala melihat seorang wanita cantik memasuki gerbong itu, mendadak
kantuknya hilang. Tiba-tiba ia bangun dan memperlihatkan seluruh kepandaiannya,
yang merupakan ekornya. Ia membuka dompet dan menghitung uangnya, meskipun bukan
milik sendiri. Karena ia pandai bersiul, bersiullah ia lagu Indonesia Raya. Ia
mulai mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris, meskipun ia takut berbicara
pada orang Inggris. Demikian ciri sendiri atau ekor-ekor sendiri, dengan jelas
dapat diketahui dalam pergaulan umum.
Kadang
permasalahan yang timbul dalam diri seseorang, dikaitkan dengan ekornya. Atau
dengan kata lain, masalahnya dikurung dalam cirinya sendiri. Misalnya seorang
isteri bertengkar dengan suaminya. Ia marah dan mengeluh: "Kaum laki-laki
selalu mau menang sendiri, mereka diperbolehkan berpoligami. Sebaliknya, kaum
perempuan tidak diperbolehkan berpoligami." Padahal keruwetan suami-isteri
adalah masalah perkawinan. Padahal yang menderita kesusahan dalam perkawinan
tidak hanya orang perempuan saja, tetapi orang lelaki juga. Jadi masalah
perkawinan adalah masalah manusia, bukan masalah golongan. Bila soal perkawinan
dikaitkan dengan ciri buntutnya sendiri, usaha bersama untuk memecahkan
persoalan menjadi gerakan golongan. Yakni gerakan golongan wanita berkelompok
menentang golongan laki-laki untuk menuntut hak sama, dalam contoh ini, untuk
diperbolehkan berpoligami.
Akan tetapi
bila diteliti, bahwa permasalahan suami-isteri itu adalah masalah perkawinan.
Sedangkan masalah perkawinan adalah masalah semua manusia, maka permasalahan
tadi jadi terurai. Yang masih ada hanyalah permasalahan manusia dalam
perkawinan. Bila kita ingin memecahkan bersama, usaha kita menjadi gerakan
manusia. Dan dalam gerakan manusia ini tidak ada golongan lain yang ditentang.
Sebagai hasil
mempelajari ilmu jiwa ini, seharusnya jiwa kita menjadi sehat. Jadi mempelajari
ilmu jiwa adalah salah satu usaha untuk menyehatkan jiwa. Dalam berusaha
menyehatkan jiwa, seharusnya terlebih dahulu kita mengetahui penyakit jiwa. Sama
halnya bila kita berusaha menyehatkan raga, terlebih dahulu kita harus
mengetahui penyakit raga. Perbedaan sakit jiwa dan sakit raga, ialah pada sakit
raga, cara mengobatinya dapat dengan minta bantuan orang lain, tetapi pada
sakit jiwa, mengobatinya tidak dapat minta bantuan orang lain. Umpama sakit
gigi, orang dapat minta bantuan seorang dokter gigi untuk mencabutnya. Tetapi
dalam hal sakit jiwa, si penderita sendirilah yang dapat mengobatinya. Sakit
raga dan jiwa ini bisa ringan dan bisa berat. Raga mungkin menderita sakit
ringan atau berat, begitu pun jiwa mungkin menderita sakit ringan atau berat.
Perbedaaan lain
antara sakit raga dan sakit jiwa ialah, sakit raga mudah dirasakan karena ada
ukuran yang dipakai untuk menetapkannya. Ukuran itu ialah bila orang tidak
dapat melakukan pekerjaan sehari-hari, lalu merasa sakit dan berusaha
mengobatinya. Tetapi, daiam hal sakit jiwa, orang tidak mudah merasakannya,
karena tidak mempunyai ukuran; ukuran untuk menetapkan sehat atau sakit
jiwanya. Semakin ringan sakitnya semakin sukar dirasakan, karena tidak ada
ukurannya. Malahan seorang sakit jiwa yang sudah hebat, dan sedang dirawat di
rumah sakit, masih belum merasa bahwa dirinya menderita sakit jiwa. Malahan ia
menganggap orang lainlah yang sakit jiwa. Dalam hati ia berkata: "Eeee,
dokter rumah sakit jiwa itu gila. Aku tidak gila mengapa dianggap gila."
Demikianlah kesukaran penderita sakit jiwa untuk merasakan sakitnya, karena itu
ia tidak berusaha untuk mengobatinya. Lebih-lebih sakit jiwa yang ringan, yang
sebenarnya masih mudah diobati, tetapi jadi semakin sukar karena tidak
dirasakannya.
Karena untuk
mengobati penyakit jiwa, orang harus mengetahui sakitnya, padahal ukuran untuk
menetapkannya tidak ada; maka di sini saya sengaja membuat ukuran untuk
menetapkan jiwa sehat atau jiwa sakit. Ukuran itu berupa gambar jiwa sehat
seratus persen.
Saya sengaja
membuat gambar jiwa sehat seratus persen, meskipun dalam kenyataan tidak ada.
Sama dengan ahli kesehatan raga, bisa membuat gambar raga sehat seratus persen,
meskipun kenyataannya tidak ada. Umpama raga yang sehat seratus persen ialah
yang keadaan jantungnya begini, ginjalnya begitu, hatinya begini, ususnya
demikian dan sebagainya. Adapun gambar jiwa sehat seratus persen ialah bila
juru catat dalam diri kita, setiap kali mencatat apa saja, pasti sama persis
antara catatan dan yang dicatatnya. Juru catat ini umumnya dalam mencatat
barang yang berwujud (kasat mata) sering kali benar, tetapi bila ia mencatat
rasa sering salah, catatan dan yang dicatat tidak sama tepat.
Di sini juru
catat itu saya ganti istilahnya dengan juru potret, karena lebih tepat. Jadi
gambar ukuran jiwa sehat 100% ini, ialah bila juru potret memotret rasa, dan
hasilnya atau potretnya sama persis dengan yang dipotret. Bila hal itu terjadi
maka berarti kita mengetahui rasa, baik rasa sendiri maupun rasa orang lain.
Tetapi bila junu potret memotret rasa, dan hasilnya tidak sama persis, berarti
kita belum mengetahui rasa orang lain atau rasa kita sendiri. Kita hanyalah
mengira tahu rasa-rasa itu.
Junu potret ini
sering kali gagal, yakni hasil potretannya tidak sama dengan yang dipotretnya.
Seperti halnya dengan alat potret yang lazim, ia harus memakai film. Film
negatif ini, bila sudah dipakai (berisi potretan), lalu digunakan memotret
lagi, hasil potret itu bertindihan tidak jelas. Maka agar yang dipotret persis
dengan potretnya, alat potret itu harus memakai film negatif yang belum
terpakai (belum ada gambarnya), yang masih bersih.
Begitu pula
denganjuru potret dalam diri kita ini, bila hasil potret rasa sendiri atau rasa
orang lain ternyata tidak bisa persis, itu tentu dikarenakan filmnya kotor atau
sudah berisi potretan. Maka juru potret itu belum pernah berhasil memotret rasa
dengan tepat, persis sama dengan yang dipotret. Sehingga meskipun sudah
mempunyai anak cucu, namun belum juga mengetahui rasa suami/isterinya. Bila
ditanya: "Bagaimanakah rasa suami/isterimu?" Tentu kita tidak dapat
menjawabnya secara tepat: "Ya, bagaimana ya?" Kadang-kadang kita
menetapkan: "Suami/isteriku ini galak!" Jawaban ini tercampur
tanggapan kita sendiri atas omelan suami/isteri kita. Ada kalanya kita
menjawab: "Suami/isteriku sangat terbuka!" Jawaban ini pun tercampur
tanggapan kita atas perhatian suami/isteri kita. Jadi rasa suami/isteri kita
yang sesungguhnya, tanpa campuran rasa diri-sendiri, belum pernah kita ketahui
walaupun sudah punya anak-cucu. Demikianlah juru potret itu, tiap kali memotret
rasa sendiri atau rasa orang lain, tidak pernah berhasil tepat, karena filmnya
kotor atau sudah berisi gambar lain sehingga hasil pemotretan rasa itu
bertindihan, tidak jelas, membuat diri-sendiri tidak dapat melihat rasa.
Supaya juru
potret berhasil memotret rasa dengan persis, maka terlebih dahulu kita perlu
membersihkan filmnya. Kotoran dalam film yang menghalangi juru potret itu
adalah Kramadangsa dan catatan-catatan. Apabila Kramadangsa, atau manusia yang
berciri dan berekor ini diketahui, maka ia tidak menghalang-halangi juru potret
lagi. Catatan-catatan salah yang memerintah Kramadangsa pun dapat diketahui.
Jika catatan-catatan itu diperiksa hingga tuntas, maka film negatif menjadi
bersih, tidak lagi berisi gambar potretan lama. Setelah itu, barulah juru
potret dapat memotret rasa dengan hasil potretan yang tepat sama dengan yang
dipotretnya. Artinya, kita mengetahui rasa sendiri maupun rasa orang lain, yang
sesungguh-sungguhnya.
Rasa orang lain
yang diketahui itu, pasti tepat sama dengan rasa kita sendiri. Kalau tidak
demikian, berarti kita belum mengetahui rasa orang lain. Begitu pula rasa
sendiri yang diketahui, pasti sama dengan rasa semua orang. Kalau tidak
demikian, berarti kita belum melihat rasa kita sendiri.
Sekarang
bagaimanakah caranya membersihkan film? Di sini saya beri contoh pengalaman
saya. Pada suatu waktu, tatkala saya pulang dari bepergian, saya menjumpai anak
perempuan saya sedang bertengkar dengan ibunya. Melihat kedatangan saya, isteri
saya segera menyerang dengan omelan: "Lihatlah anakmu ini, ia menolak
kusuruh pergi mencari pinjaman uang. Tabiatnya ini ialah hasil didikanmu yang
sukar diperintah. Sekarang silakan kamu menasehatinya. Gunakanlah ilmumu,
manusia tanpa ciri atau Kramadangsa! Aku ingin mengetahui khasiatnya".
Sudah tentu, karena dimarahi, saya lalu membalas marah. Pada saat itu saya
sedang berada di jalan simpang tiga, yaitu saya Suryomentaram atau Kramadangsa,
marah, akibat dimarahi oleh orang lain. Bila kemarahan itu tidak saya ketahui,
saya tidak dapat melihat rasa anak dan isteri saya. Maka ketika saya melihat
marah saya, lalu menelitinya hingga tuntas. Penelitian rasa ini bisa selesai
dalam satu detik, satu menit, satu jam, satu hari, satu bulan, satu tahun, atau
bisa tetap tidak selesai. Saat itu, penelitian saya atas marah saya, selesai
dalam satu detik. Penelitian saya itu sebagai berikut:
Ketika saya
dimarahi, Iantas saya marah, marah saya itu saya rasakan; dan saya merasa
bingung, tidak mengerti apa yang harus saya lakukan. Kebingungan itu disebabkan
pertengkaran anak dan isteri saya, yang keduanya saya cintai. Selanjutnya
timbullah keinginan saya untuk melerai mereka. Tetapi bagaimanakah cara melerai
orang yang sedang bertengkar? Kalau caranya sudah diketemukan mudah saja melakukannya.
Ternyata cara orang melerai pertengkaran hanyalah dengan membenarkan atau
menyalahkan salah satu pihak. Kalau kita membenarkan ibunya berarti mengeroyok
anaknya, kalau membenarkan anaknya berarti mengeroyok ibunya. Jadi melerai
orang bertengkar itu, berarti turut mencampuri pertengkaran. Maka saya
berpendapat bahwa orang tidak mungkin melerai pertengkaran. Bahkan setelah
diteliti lagi saya mengetahui bahwa rasa ingin melerai pertengkaran di atas,
adalah rasa pura-pura mencintai anak dan isteri.
Padahal rasa
pura-pura cinta itu bukanlah cinta, melainkan selubung rasa cinta. Setelah rasa
selubung cinta ini diketahui, barulah saya melihat rasa saya yang sebenarnya,
yang mendorong saya untuk melerai pertengkaran antara anak dan isteri saya.
Rasa tersebut ternyata bukan cinta melainkan rasa terganggu {bhs. Jawa: risi) sewaktu saya melihat orang bertengkar. Jadi tiap kali melihat orang
bertengkar, pasti merasa terganggu. Tetapi jika dirinya sendiri yang
bertengkar, sama sekali tidak merasa terganggu.
Setelah rasa
terganggu ini diketahui, saya segera dapat melihat rasa anak saya tanpa
dirintangi rasa selubung cinta. Rasa selubung cinta tadi ialah reaksi marah
saya. Marah itu adalah salah satu wujud dari rasa benci. Setelah rasa benci ini
diketahui, saya melihat rasa anak yang vertengkar itu sebagai berikut: Anakku
itu menolak perintah ibunya, berarti anak itu sukar diperintah. Padahal
tabiatnya itu adalah hasil didikanku. Jadi didikanku menghasilkan tabiat
sukar-diperintah. Bila yang dididik sukar diperintah, yang mendidik pasti juga
sukar diperintah. Buktinya aku sendiri sukar diperintah. Aku lebih suka
memerintah daripada diperintah.
Mengetahui rasa
yang sama demikian itu, menimbulkan rasa damai. Tidak suka dan tidak benci,
tidak memuji dan tidak mencela. Tegasnya, saya tidak dapat memarahi anak saya,
karena ia dan saya sama-sama sukar diperintah. Bagaimana harus memarahinya?
Apakah demikian: "Kamu ini, janganlah terlalu sama denganku"?
Kemudian saya
meneliti rasa ibunya, yaitu isteri saya. Ibu menyuruh anaknya tetapi anaknya
tidak mau menurut, lalu ia marah. Maka ibunya pun termasuk orang yang sukar
diperintah. Jika ia mudah diperintah, cukuplah ia pergi sendiri dan urusan
selesai. Kemudian saya melihat rasa yang sama antara isteri saya yang sukar
diperintah dan saya yang juga sukar diperintah. Jadi, sudah menjadi jodoh,
sama-sama sukar diperintah. Bila salah seorang ingin menyuruh yang lain,
timbullah pertengkaran, yaitu jodoh yang sama-sama senang bertengkar.
Mengetahui rasa yang sama ini, menimbulkan rasa damai, tidak berselisih.
Waktu itu anak
saya segera pergi, dan ketika saya melihat kemarahan isteri saya agak reda,
lalu saya katakan: "Bu, memang anakmu itu sukar diperintah. Itu hasil
didikanku. Maka anakmu itu mewarisi sifatku, sama-sama sukar diperintah. Aku
sendiri belum pernah mau engkau suruh. Bila aku segera melakukan perintahmu,
itu hanya karena ingin dipuji, bukan karena rajin." Melihat rasa yang sama
demikian itu, menimbulkan rasa damai, tidak berselisih.
Rasa damai itu
menghapuskan bekas-bekas luka hati. Bila pertengkaran di atas tadi tidak
diteliti sampai tuntas, pasti akan meninggalkan bekas luka yang tergores di
hati kita, dan menjadi dendam. Maka bila rasa tanggapan yang muncul dalam
pertengkaran itu tidak diteliti dengan tuntas, pasti akan menghasilkan dendam.
Parut bekas luka ini akan muncul lagi, bila suatu hari suami/isteri itu
bertengkar lagi: "Nah, ini dia, yang mencaci-maki aku kemarin!"
Bila dilakukan
penelitian dengan tuntas, tidak akan ada parut bekas luka atau dendam. Parut
pada diri saya hilang, menular ke anak dan isteri saya. Seakan-akan
pertengkaran tadi tidak pernah terjadi. Ini dapat dilihat ketika anak saya
berjumpa lagi dengan ibunya, seolah-olah tidak pernah bertengkar.
Demikianlah
contoh cara membersihkan film. Bila film telah bersih, rasa yang muncul bisa
diketahui, yakni Kramadangsa atau catatan-catatan. Juru potret kemudian
memotret rasa, dan hasilnya bisa persis sama dengan yang dipotret.
Apabila
Kramadangsa diketahui, ia akan segera mati, dan dengan matinya Kramadangsa, lahirlah
manusia tanpa ciri, yang merasa damai bila berhubungan dengan orang lain. Juru
catat lantas mencatat manusia tanpa ciri. Catatan manusia tanpa ciri ini
memerintah Kramadangsa, sehingga Kramadangsa hidup lagi dan berbuat
sewenang-wenang seperti biasanya. Tetapi jika Kramadangsa itu diketahui, ia pun
mati lagi, diiringi lahirnya manusia tanpa ciri. Demikianlah proses ini
berlangsung terus, kematian Kramadangsa diiringi kelahiran manusia tanpa ciri.
Jadi lahirnya
manusia tanpa ciri ini tidak berlangsung terus-menerus, tetapi hanya pada
setiap kejadian, satu peristiwa demi satu peristiwa, atau satu masalah demi
satu masalah. Setiap ada kesulitan, bila diteliti sehingga tuntas, maka
lahir/timbul manusia tanpa ciri, yang kemudian tenggelam lagi. Demikian seterusnya.
Jadi lahir/timbulnya manusia tanpa ciri itu tidak terus menerus.
Sebagai
penutup, saya ulangi bahwa dalam batin kita sendiri terdapat juru catat,
catatan-catatan, kelompok-kelompok catatan, Kramadangsa dan manusia tanpa ciri.
Sekianlah ceramah llmu-Jiwa tentang Kramadangsa,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar