ILMU JIWA KRAMADANGSA
Hal. 3/4
BAGIAN III
(Bagian ketiga dan keempat disampaikan oleh Ki Ageng Suryomentaram)
Tadi sudah
diterangkan bahwa Kramadangsa, rasa nama sendiri, ialah pesuruh
catatan-catatan; Maka boleh dikata, Kramadangsa ialah budak dari sebelas orang
majikan.
Setiap
gerak-hati sesaat (bhs. Jawa: krenteg) yang muncul
dalam rasa, tentu berasal dari rasa-hidup atau dari catatan-catatan. Yang
berasal dari rasa-hidup itu sedikit dan mudah dimengerti, tetapi yang berasal
dari catatan-catatan, sukar diketahui dan dimengerti. Rasa yang muncul itu baik
berwujud gerak-hati, maupun ilham, tentu berasal dari catatan-catatan.
Yang mendapat
ilham itu pada umumnya mereka yang berprihatin. Orang berprihatin biasanya
bertirakat, mengurangi makan, mengurangi tidur, kemudian memperoleh ilham (bhs.
Jawa: wisik), dan ilham itu berasal dari catatan-catatan. Jika orang tidak berhasil
dalam usahanya, ia lalu prihatin, bertirakat dan akhirnya memperoleh ilham
(bisikan hati). Ilham itu pasti berasal dari catatan harta-benda. Biasanya
ilham itu mengatakan: "Kamu harus bekerja di bidang ini; harus berdagang
barang ini; menemui dukun anu; tirakatlah ke keramat anu; dan sebagainya."
Bisikan hati ini ialah dari catatan harta-benda.
Pada waktu ada
rasa muncul dalam diri-sendiri, yang berasal dari catatan-catatan, maka ini
berarti bahwa kita berada di jalan simpang tiga. Jalan simpang tiga ini, yang
satu menuju ke ukuran ketiga, yakni hidup Kramadangsa, dan yang lain menuju ke
ukuran keempat, yakni hidup manusia tanpa ciri.
Jika kita
merasa marah, maka kita berada di jalan simpang tiga. Dalam marah itu, bila
kita memikirkan bagaimana cara melaksanakan marah, kita menuju ke jurusan
ukuran ketiga, yakni Kramadangsa. Hal demikian ini sudah biasa kita lakukan
sepanjang ribuan tahun. Tetapi bila dalam marah itu, kita tidak memikirkan
bagaimana cara melaksanakan marah, melainkan memikirkan si marah, yaitu marah
itu apa, bagaimana rupa dan bagaimana arti maksudnya, kita lalu menjurus ke
ukuran keempat, manusia tanpa ciri. Kemudian apabila kita berhubungan dengan
orang lain, kita merasa damai atau tidak berselisih.
Pada jalan
simpang tiga itu, rasa yang timbul hanya dua macam, yaitu rasa suka dan rasa
benci. Rasa suka dan benci ini bisa bermacam-macam rupanya. Rasa benci bisa
berupa marah, malu, takut, terganggu (bhs. Jawa: risi) dan sebagainya. Rasa suka bisa berupa bangga, senang, gembira dan
sebagainya.
Rasa suka dan
benci ini berasal dari catatan-catatan, oleh karenanya bermaksud untuk membela
diri. Lantaran catatan-catatan itu butuh hidup subur, maka jika diganggu akan
marah, jika dibantu akan tertawa senang; sehingga jika dirugikan akan benci,
jika diberi keuntungan akan suka. Jadi bila ada rasa muncul, dan rasa itu
diteliti, maka kita akan menemukan hanya dua macam hal, yaitu suka dan benci,
kedua-duanya itu tentu bersifat membela diri.
Jika anak kita
diganggu, maka kita marah. Anak ini termasuk catatan keluarga, yang butuh tetap
hidup subur; sehingga tatkala anak kita diganggu, kita akan marah, dan ini
berarti bahwa kita membela diri. Begitupun bila kita dibantu dalam mengasuh
anak kita, sukalah hati kita. Suka ini pun berarti membela diri, karena
memperoleh untung.
Dalam gambar Kramadangsa, pada bagian gambar jalan simpang tiga, terdapat penghalang (bhs.
Jawa: aling-aling). Penghalang inilah yang menghalangi kita menuju ke ukuran keempat. Penghalang
ini ialah pembelaan diri, yang berwujud anggapan benar. Jadi penghalang yang
menghalangi diri-sendiri menuju ke ukuran keempat, berwujud "anggapan'
benar.
Anggapan benar
yang ada pada diri-sendiri ini, menimbulkan perselisihan. Dua orang yang berselisih,
masing-masing sama-sama beranggapan benar. Misalnya si A berselisih dengan si
B, si A merasa benar dan si B juga merasa benar. Maka merasa benar adalah
perselisihan, dan orang berselisih karena merasa benar. Apabila merasa benar
berarti berselisih, maka damai itu berarti merasa salah. Jadi, di waktu kita
berselisih dengan orang lain, dapatlah dimengerti bahwa kita sendiri yang
salah, maka carilah kesalahan diri-sendiri itu sampai ketemu. Yakni bahwa kita
hanya mengejar kepentingan diri sendiri dan tidak mempedulikan orang lain. Maka
kita ini bertindak sewenang-wenang, tukang bertengkar atau juara pertengkaran.
Karena
persengketaan itu disebabkan oleh anggapan benar sendiri, sedang kita ini
selalu merasa benar, maka kita selalu bersengketa, baik dengan isteri/suami,
anak, orang tua, maupun dengan tetangga-tetangga kita.
Yang menjadi
penghalang kita menuju ukuran keempat ialah anggapan bahwa kita benar, dan
anggapan inilah yang menyebabkan perselisihan. Bila kita berselisih dengan
siapa saja, maka kita akan menyadari dan mengerti, bahwa anggapan benar itu
salah. Pengertian demikian itu berarti menjebol penghalang di atas. Dan kita
menghayati hidup dalam ukuran keempat, yakni sebagai manusia tanpa ciri yang
bila bergaul dengan orang lain, selalu merasa damai.
Jadi, rasa yang
menanggapi apa saja, tentu hanya rasa suka atau benci. Suka atau benci ini
berarti membela diri, yang berwujud anggapan-benar. Oleh karena anggapan-benar
ini menyebabkan perselisihan, maka dapat dimengerti bahwa anggapan-benar itu salah.
Kesadaran ini berarti jebolnya penghalang jalan hidup, yang menuju ukuran
keempat. Maka kita terjun ke dalam hidup ukuran keempat, sebagai manusia tanpa
ciri, yang merasa damai bila berhubungan dengan orang lain.
Bersamaan
dengan lahirnya manusia tanpa ciri dalam ukuran keempat, si Kramadangsa menjadi
tidak berdaya. Dengan demikian dapatlah dilihat kekeliruan dan kesalahan
catatan-catatan yang ada dalam diri kita. Catatan-catatan yang mengenai rasa,
hampir semua salah, sedangkan yang mengenai wujud barang, banyak yang benar.
Misalnya, mencatat wujud meja di depan saya ini, benar, berbentuk persegi
panjang; tetapi bila mencatat rasa/tanggapan akan sering kali salah.
Mari
bersama-sama kita periksa catatan pertama dalam gambar Kramadangsa itu, yakni
catatan harta benda. Kita mencatat harta benda ini salah, jika kita
salah mempergunakannya. Harta benda berguna untuk mencukupi kebutuhan raga yang
berupa makan, pakaian dan tempat tinggal. Karena kebutuhan raga itu pada
dasarnya tidak banyak (sederhana), maka orang tidak akan kekurangan, atau kaya,
untuk mencukupi kebutuhan raga ini. Tetapi kita sering keliru, mempergunakan
harta benda sebagai alat untuk mencari kehormatan dan kekuasaan. Padahal
kehormatan dan kekuasaan ini kebutuhan jiwa, bukan kebutuhan raga. Apabila
harta benda dipakai untuk kebutuhan jiwa, orang merasa tidak cukup, atau
melarat. Walaupun mempunyai berjuta-juta harta benda, masih saja merasa tidak
cukup atau kekurangan.
Dalam
masyarakat kita, orang kaya lebih dihormati daripada orang miskin. Ini
membuktikan bahwa harta benda dipakai untuk memperoleh kehormatan. Begitu pula
harta benda sering dipakai untuk memperoleh kekuasaan. Misalkan seorang kaya
hendak menguasai pegawainya yang melarat, lalu mengancam: Bila kamu tidak
menurut perintah-perintahku kamu akan kupecat. Padahal orang kaya itu pasti
menghadapi orang lain, yang melebihi kekayaannya. Maka untuk mempertahankan
kedudukannya, ia selalu merasa kekurangan harta bendanya. Jadi jika harta benda
dipakai untuk kebutuhan jiwa, maka harta benda selalu menimbulkan rasa tidak
cukup.
Tetapi bila
orang memakai harta benda untuk mencukupi kebutuhan raga, ia akan merasa cukup,
kaya. Misalnya dengan memiliki tiga helai celana, orang sudah serba cukup,
kaya. Satu helai dipakai, yang lain dicuci, dan yang lain lagi untuk cadangan
bila yang dipakai tiba-tiba kotor. Jadi orang punya tiga helai celana, sudah
kaya. Jika ia sampai mempunyai empat helai celana, berarti ia kelebihan
sehelai. Barang kelebihan ini, bila hilang tidak akan menjadi soal baginya. Demikian
seterusnya, jika ia mempunyai sepuluh helai celana, berarti ia kelebihan tujuh
helai sebagai kekayaannya. Sehingga bila hilang kekayaan atau kelebihan itu,
tidak akan menjadi soal baginya.
Orang yang
mempunyai kelebihan tujuh helai celana, boleh dikatakan merugikan masyarakat,
karena tujuh helai celana itu, yang seharusnya tersebar dalam masyarakat,
ditimbunnya sendiri. Hal ini memboroskan masyarakat. Maka orang yang menimbun
barang adalah orang yang boros. Barang-barang yang dimaksudkan di sini, bukanlah
barang dagangan. Oleh karena orang yang menimbun barang-barang itu memboroskan
dan merugikan masyarakat, dengan sendirinya ia memperoleh hukuman dari
masyarakat. Hukuman masyarakat ini, berupa rasa ketakutan akan pencuri. Tetapi
bagi orang yang hanya punya sehelai celana, ia tidak takut akan pencuri.
Demikian orang yang salah mempergunakan harta benda, sehingga ia bertikai
dengan masyarakat.
Kekeliruan
dalam menggunakan harta benda, dapat menimbulkan kekacauan dan keributan,
sehingga merusak ketenteraman. Supaya lebih jelas, saya beri tambahan contoh
pengalaman saya sendiri.
Pada suatu
ketika saya mempunyai dua buah rumah, yakni rumah belakang dan rumah depan
(pendopo). Pada suatu ketika pendopo itu doyong ke timur, saya tunjang dari
timur. Kemudian ketika pendopo itu doyong ke barat, saya tunjang dari barat,
lalu ketika doyong lagi ke utara, saya tunjang dari utara. Walhasil rumah itu
penuh dengan bambu-bambu penunjang, hingga tidak dapat didiami, dan terpaksalah
dirobohkan. Setelah rumah itu roboh, barulah saya merasa kaya. Ketika saya
mengerti bahwa rumah yang roboh itu adalah barang kelebihan, maka hal itu tidak
menimbulkan persoalan bagi saya lagi. Saya bersama keluarga lalu tinggal di
rumah belakang, terhindar dari panas, hujan dan angin. Dan waktu itu juga, saya
merasa kaya karena memiliki kayu bakar yang lumayan banyaknya; sehingga selama
dua bulan tidak perlu membeli kayu bakar. Jadi bila harta benda dipergunakan
untuk kebutuhan raga, orang merasa cukup, malah merasa kaya. Kedua, kelompok
catatan kehormatan. Dalam diri kita ada catatan kehormatan yang
berupa tata-cara menghormat, dengan bersenyum, manggut, bersalaman, menunjuk ke
langit dan sebagainya. Kelompok catatan ini pun dapat keliru; jelasnya sebagai
berikut.
Kita merasa
nikmat, bila orang lain menghormati kita. Dan kita mengira bahwa rasa nikmat
itu berasal dari penghormatan, yang diberikan oleh orang lain. Maka kita
berusaha keras agar dihormati oleh orang lain, sehingga berebut kehormatan atau
gila hormat. Hal itu salah, sedangkan yang benar ialah dalam hormat terdapat
nikmat. Tegasnya, baik hormat orang lain terhadap diri-sendiri, maupun hormat
diri-sendiri terhadap orang lain rasanya nikmat. Jadi, dihormati itu nikmat,
menghormati pun juga nikmat.
Jika kita
mengerti bahwa hormat adalah nikmat, bilamana kita ingin merasa nikmat dari
hormat, cukuplah dengan bertindak menghormat orang lain. Dengan demikian kita
tidak perlu berebut kehormatan.
Ketiga,
kelompok catatan kekuasaan, ini pun dapat keliru. Kuasa itu berarti
dipercaya oleh orang lain. Dipercaya oleh orang lain itu, rasanya nikmat. Bila
kita tidak mengerti apa sebab hingga dipercaya dan berkuasa, kita lalu berusaha
membabi-buta mencari kekuasaan, berebut kekuasaan dan gila kekuasaan, yang pada
akhirnya menjadi perkelahian.
Padahal orang
berkuasa atau dipercaya itu adalah karena ia mengenakkan orang lain. Umpama
seorang dokter, setiap mengobati orang sakit selalu berhasil menyembuhkan.
Sudah tentu beribu-ribu orang minta pertolongan dan percaya akan nasehatnya.
Dokter itu dipercaya oleh orang banyak, dan ia merasa berkuasa dan nikmat. Jadi
orang berkuasa atau dipercaya itu, karena ia mengenakkan orang lain. Maka bila
kita ingin berkuasa dan dipercaya, kita harus bertindak mengenakkan orang lain.
Tetapi jika
kita tidak mengerti bahwa berkuasa atau dipercaya itu adalah karena mengenakkan
orang lain, maka kita justru mencari kekuasaan atau kepercayaan tanpa
mengenakkan orang lain.
Dipercaya oleh
satu orang atau oleh orang banyak, rasa nikmatnya sama saja. Saudara-saudara
dapat mencoba sendiri. Saudara-saudara kaum lelaki yang biasanya tidak pernah
mengambil air dari sumur (bhs. Jawa: ngangsu), besok
pagi-pagi bangun tidur, saudara segera mengambil air. Yang biasanya tidak
pernah menyapu lantai rumah, lakukanlah pekerjaan itu. Pasti saudara segera
dipercaya oleh isteri saudara. Sang isteri itu belum diperintah, sudah
mendahului minta diperintah, "Mas, kau ingin kubuatkan apa?" Hal itu
dapat saudara buktikan sendiri.
Maka bila
mengerti bahwa berkuasa itu disebabkan mengenakkan orang lain, orang lalu
merasa kaya akan kekuasaan dan tidak berebut kekuasaan.
Keempat,
catatan keluarga, ini pun dapat keliru. Dalam catatan itu yang
penting ialah suami/isteri, anak-anak. Jadi kita seringkali keliru mencatat
tanggapan terhadap suami/isteri dan anak-anak kita. Dalam hubungan
suami-isteri, kita merasa bahwa kita mencintai satu sama lain. Padahai
kenyataannya tidak demikian.
Mari
saudara-saudara saya ajak bersama-sama meneliti diri sendiri masing-masing.
Apakah kita ini mencintai pasangan kita atau tidak? Saudara-saudara, baik
laki-laki maupun perempuan, cobalah meneliti diri sendiri, ketika memilih
jodoh, apakah kita berniat membahagiakan calon pasangan kita? Jika calon
pasangan kita itu menolak untuk diperisterikan atau dipersuamikan, apakah kita
masih tetap ingin membahagiakannya? Tentu saja tidak. Padahal rasa ingin
membahagiakan itu, lahir dari rasa cinta. Jadi kita tidak lagi mencintai,
karena kehendak kita ditolaknya, bahkan kita lalu membencinya.
Mari
saudara-saudara saya ajak mengingat-ingat rasa sendiri, ketika kita memilih
pasangan. Rasa yang paling baik: "Bila aku memperoleh dia, aku akan senang
sekali." Sedang rasa yang jelek: "Kalau enak diteruskan, kalau tidak
enak diceraikan." Jadi rasa yang terbaik itu, ialah semata-mata memikirkan
kesenangan diri-sendiri, dengan tidak mempedulikan pihak calon pasangannya.
Rasa demikian itu bukanlah cinta, melainkan mengejar kesenangan sendiri. Jadi
kita menghargai pasangan kita, sebagai barang kesenangan belaka. Sama dengan
barang-barang kesenangan lain, seperti burung perkutut, kucing dan dengkek (nama salah satu kartu judi).
Orang yang
senang memelihara perkutut, bila burung itu bersiul bagus
"hoorketekung," burung itu lalu dirawat baik-baik, dikerek tinggi,
dimandikan, ditambah makanannya. Tetapi jika perkutut itu berbunyi
'hoorketekek" jelek, maka akan dibantingnya, karena tidak menyenangkan.
Demikian pula ia bertindak terhadap pasangannya, yang tidak menyenangkan atau
"hoorketekek", juga dibantingnya. Bedanya, pada perkutut yang
dibanting raganya, sedang pada suami/isteri, yang dibanting rasanya.
Contoh
"hoorketekek bagi manusia, misalnya seorang laki-laki yang sangat merosot
penghasilannya, karena semula bekerja tetapi kini dipensiun. Penghasilan kurang
inilah "hoorketekek", tegasnya tidak menyenangkan isterinya. Maka
sang isteri membantingnya; hanya saja yang dibanting bukan raganya, tetapi
perasaan hatinya. Caranya dengan menghidangkan "gudangan mentah"
(daun daun sayur mentah dengan sambal kelapa). Di pihak lain, sang suami yang
baru dipensiun itu, sering lupa, sehingga tatkala menghadapi hidangan
"gudangan mentah" itu, merasa ogah-ogahan makannya. Ogah-ogahan ini
pun rasa hoorketekek lagi, maka sang isteri membanting pula dengan berkata:
"Orang sudah dipensiun, masih tetap minta lauk pauk telur?" Demikian
orang menghargai suami/isteri hanya sebagai barang kesenangan belaka.
Melihat
kenyataan bahwa dirinya sesungguhnya tidak mecintai isterinya, laki-laki itu
takut melihat keadaan diri-sendiri yang sebenarnya. Ketakutan itu mendorongnya
untuk menutupi dirinya sendiri demikian: "Tetapi aku ini berbeda dengan
laki-laki lain. Aku benar-benar mencintai isteriku, buktinya ia kubelikan
rumah, pakaian, perhiasan mas-intan yang bagus-bagus.
Mari
saudara-saudara saya ajak bersama meneliti diri-sendiri masing-masing. Rasa
apakah yang mendorong kita, memberi sesuatu kepada suami/isteri; rasa cintakah
atau dengan maksud lain? Hal ini bagi kaum laki-laki atau perempuan sama saja.
Umpama seorang
laki-laki pulang dari perjalanan ke Singapura, ia membawa oleh-oleh kain baju untuk
isterinya. Pada waktu menyerahkan, rasanya: "Isteriku, ini kuberi
oleh-oleh kain baju. Walaupun kamu tidak memesan, namun kubelikan; ini sebagai
bukti dari cintaku kepadamu". Apakah membelikan kain baju dapat diartikan
cinta? Sehingga sebuah baju sama dengan satu cinta, dua buah baju sama dengan
dua buah cinta? Kalau bajunya satu lemari, apakah cintanya pun satu lemari?
Jika demikian halnya, orang-orang kaya itu kaya dengan cinta, karena mereka
mampu memberi delapan lemari berisi penuh dengan kain baju, yang berarti
delapan lemari penuh cinta kepada isterinya. Sementara orang-orang miskin tidak
dapat mencintai suami/isterinya karena tidak punya baju berlemari-lemari.
Demikian orang
itu tidak dapat mencintai suami/isterinya. Rasa yang ada dalam hubungan suami-isteri
hanyalah rasa saling memanfaatkan, untung-menguntungkan. Maka bila dirasakan
masih seimbang, memadai, perkawinan masih dapat dipertahankan, tetapi bila
tidak, lalu bercerai.
Demikian juga
catatan "anak" pun keliru. Orang mencatat bahwa dirinya mencintai
anak-anaknya, padahal sebenarnya tidak. Yang sering dianggap cinta itu,
hanyalah rasa hidup untuk mempunyai keturunannya. Wujud rasa hidup tersebut,
berupa asuhan kepada anak kecil, supaya raganya berlangsung hidup. Tetapi
setelah anak itu dewasa, kita ajak bertengkar, dan pertengkaran bukanlah cinta.
Kecuali rasa
hidup untuk melangsungkan keturunan, yang mendorong kita untuk memelihara
anaknya, kita menganggap anak kita hanyalah sebagai cadangan dana pensiun dan
alat kebanggaan. Anggapan itu dapat diungkapkan sebagai berikut: "Anakku
ini kudidik rajin bersekolah, agar berilmu dan berijazah serta mendapat jabatan
tinggi dengan penghasilan besar. Nanti kalau saya sudah tua dan tidak dapat
bekerja tetapi masih butuh makan dan pakaian, maka anakkulah yang akan memberi
pensiun padaku. Bahkan keinginan jaminan pensiun ini bisa makin jauh, rasanya:
"Apabila anakku berpenghasilan besar, sedangkan aku sudah tua dan tidak
bekerja, tetapi masih butuh tambah atau ganti isteri/suami, maka anakkulah yang
nanti harus mengawinkan aku."
Kecuali untuk
cadangan pensiun, kita menghargai anak kita sebagai alat kebanggaan, rasanya:
"Untuk mencari kebanggaan, aku sendiri sudah tidak mungkin. Tetapi
kuharapkan anakku memperoleh pangkat tinggi, sehingga derajatku pun turut naik
tinggi." Maka apabila anak kita yang bersekolah tidak naik kelas, kita
jadi marah, anak dipukul, kadang-kadang sampai hati pula mengusirnya. Hal ini
menyebabkan pada setiap kali masa ujian terakhir, ada pelajar yang bunuh diri.
Karena pelajar itu telah mengecewakan harapan orang tuanya. Demikian kekeliruan
catatan keluarga itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar