MENYEMBAH YANG KUASA
Hal. 2/2
3. Menyembah
Sebagaimana
telah diterangkan bahwa yang menyembah ialah yang merasa sial atau celaka, dan
yang disembah adalah gambaran pikirannya sendiri dalam usahanya mencari kuasa.
Maka jelas bahwa menyembah adalah tindakan si sial, mencari kuasa atau minta
pertolongan pada gambarannya Yang Kuasa. Gambaran Yang Kuasa itu bermacam-macam
sehingga bermacam-macam pula cara menyembahnya.
Salah satu
gambar Yang Kuasa ialah yang membuat semua benda di atas bumi dan di kolong
langit, yang menggerakkan matahari dari timur ke barat, yang menghembuskan
angin dan menjatuhkan hujan dan yang menumbuhkan tetumbuhan dan lain
sebagainya. Melihat gambaran pikirannya semacam itu, orang lalu merasa dirinya
kecil sekali, lemah dan sial. Oleh karenanya ia lalu menyembahnya. Namun
bilamana ia mengalami nasib malang, ragu-ragulah hatinya, "Kalau
benar-benar berkuasa, mengapa membuat orang bernasib malang." Ada lagi
gambaran Yang Kuasa yang mencipta manusia berikut ajaran baik dan buruk. Bila
orang berlaku baik, sesuai dengan ajarannya, nanti setelah mati akan memperoleh
kemuliaan. Sebaliknya bila ia berbuat buruk, berdosa, nanti setelah mati akan
disiksa. Kalau timbul niat jahat datangnya dari godaan, kalau niat baik
datangnya dari Yang Kuasa. Apabila orang kerap melakukan dosa yang membuatnya putus
harapan, lalu diadakan peleburan dosa, yakni orang yang banyak berdosa mohon
pengampunan dari Yang Kuasa. Tetapi karena seringnya ia berbuat dosa, lalu
ditimbunnya dosa yang bertumpuk itu untuk sekaligus dimintakan pengampunannya.
Demikian menyembah yang tidak benar.
Menyembah yang
benar ialah berdasarkan penelitian dan pengertian. Penelitian itu menunjukkan
kepada kita tentang rasa manusia yang menimbulkan rasa enak. Menyembah
berdasarkan hasil penelitian itu sebagai berikut. Manusia itu sial atau malang
dalam memenuhi keinginannya. Misalnya ia kini muda belia, tidak ingin menjadi
tua, namun terpaksa ia harus mengalami tua. Maka siallah baginya dalam menolak
usia tua.
Misalnya kini
ia hidup tidak ingin mati. Namun terpaksa ia mengalami mati. Maka siallah
baginya dalam hal menolak kematian. Misalnya kini ia kaya, memiliki banyak
harta dan rumah, dan tidak ingin harta bendanya musnah. Namun ia tidak tahu
apakah harta kekayaannya itu bisa lestari. Siapa tahu dalam waktu dekat datang
bencana, rumah dan kekayaannya terbakar habis. Maka siallah manusia karena
tidak dapat mengetahui kelestarian harta bendanya. Misalnya kini ia
berkedudukan tinggi dengan penghasilan besar, tidak ingin kemerosotan
keadaannya. Namun siapa tahu bulan mendatang ia dipecat dari pekerjaannya. Maka
malanglah manusia untuk mengetahui keadaannya kemudian hari. Misalnya kini ia
mempunyai anak dan istri/suami yang serasi dan tidak ingin berpisahan. Tetapi
siapa tahu, hari-hari mendatang ia bertengkar dengan istri/suaminya hingga bercerai.
Sementara anaknya meninggal dunia. Maka siallah manusia yang tak dapat menjamin
kelestarian kerukunan rumah tangganya. Misalnya kini ia punya sahabat karib
yang tak ingin terpisahkan. Tetapi siapa tahu esok lusa timbul percekcokan
sehingga kawan menjadi lawan, sahabat menjadi musuh. Maka siallah orang yang
tak dapat mengetahui kelangsungan persahabatan yang akrab. Misalnya ia kini
sehat walafiat, ingin mempertahankan kesehatan itu. Namun siapa tahu esok lusa
ketabrak mobil dan patah kakinya. Siallah manusia yang tidak dapat mengetahui
nasibnya yang akan datang. Bahkan kesialannya meliputi ketidaktahuannya dan
ketidakmengertiannya akan tercapai tidaknya idam-idamannya yang beraneka warna.
Andai kata, tak tercapai, apakah tak membuatnya kecewa? Andaikata tercapai,
apakah tidak membuatnya khawatir kalau-kalau terlepas lagi? Kalau idam-idaman
yang telah dicapai hilang lagi, apakah tidak membuatnya menyesal, sedih, dan
takut? Maka setiap orang di mana saja, kapan saja dan bagaimana saja selalu
malang sifatnya.
Apabila kita
mengerti watak manusia itu sial, maka kita tidak lagi mencari kuasa. Karena
kita mengerti, walaupun andaikan kita berhasil menemukan Yang Kuasa, kita
sendiri tetap sial, tak berkuasa.
Apabila orang
sudah tidak mencari kuasa, ia lalu merasa berkuasa. Kemudian dapat mengerti
bahwa rasa sial itu disebabkan oleh rasa butuh. Watak rasa butuh adalah sial.
Jadi saban butuh pasti sial. Maka berkuasa itu kalau tidak butuh. Jadi kalau
tidak butuh kuasa lalu merasa berkuasa
Jelas
penelitian di atas menerangkan bahwa sifat semua manusia selamanya sial.
Kesadaran tersebut mengakibatkan kita tidak mencari kuasa. Setelah tidak
mencari kuasa, lalu kita merasa berkuasa. Maka buah penelitian tersebut adalah
rasa berkuasa. Rasa berkuasa adalah rasa enak.
Jadi menyembah
Yang Kuasa yang benar adalah hasil penelitian bahwa sifat manusia itu sial.
Sehingga kita tidak mencari kuasa, oleh karenanya lalu merasa berkuasa. Maka
menyembah di atas melahirkan rasa berkuasa.
Di sini
bersatulah yang menyembah dan yang disembah atau sirnalah yang menyembah dan
yang disembah. Yang menyembah ialah yang disembah dan yang disembah ialah yang
menyembah. Peribahasa Jawanya, Sirnaning kawula Gusti, atau Loro-loroning
atunggal (dua menjadi satu).
Jadi menyembah
ialah mengerti bahwa watak manusia itu sial, lalu tidak mencari kuasa yang
menimbulkan rasa berkuasa. Maka menyembah adalah merasa berkuasa. Menyembah
demikian adalah yang benar.
Maka ada
menyembah yang benar dan ada pula yang tidak benar. Menyembah yang tidak benar
ialah tatkala orang merasa sial lalu bertindak mencari kuasa yang rasanya tidak
enak. Menyembah yang benar yaitu merasa berkuasa.
Di sini timbul
masalah dalam menanggapi rasa sial dan rasa kuasa, yang sering diartikan
keliru. Rasa sial diartikan keinginan yang tak tercapai dan rasa berkuasa
diartikan keinginan yang tercapai, sehingga orang berusaha keras mencari kuasa
atau Yang Kuasa. Yakni keinginan yang tercapai.
Pada
hakikatnya, rasa sial adalah rasa butuh dan rasa kuasa adalah rasa tidak butuh.
Maka itu butuh ialah sial, tidak butuh ialah berkuasa. Jadi rasa berkuasa
adalah rasa tidak butuh kuasa, karena mengerti bahwa watak manusia itu sial.
Dari itu menyembah yang benar ialah mengerti dan mengawasi sialnya sendiri
dengan senang hati.
Setelah
berkuasa orang akan senantiasa menyembah secara mengetahui dan menertawai
kesialannya sendiri dengan senang hati.
Umpama kita
mengetahui diri sendiri sangat takut menjadi tua-renta, padahal mau tidak mau
pasti mengalaminya. Kita senang melihat kenyataan manusia itu sial.
Kita mengetahui
diri sendiri sangat takut mati, padahal tak dapat menolaknya. Kita senang
membuktikan bahwa manusia itu sial.
Kita mengetahui
diri sendiri terus-menerus dirundung kekhawatiran dalam usahanya yang keras
untuk mempertahankan kejayaannya yang tak terjamin kelestariannya. Melihat
kenyataan manusia yang sial itu menimbulkan rasa senang.
Kita mengetahui
diri sendiri berkedudukan tinggi dan berpenghasilan besar, lalu berusaha keras
untuk mempertahankan keadaan itu. Padahal kita tidak tahu apakah usaha tersebut
akan berhasil. Kita senang melihat kenyataan bahwa manusia memang sial.
Kita hidup
bahagia bersama anak dan istri dan lalu berusaha keras untuk melestarikannya.
Namun kita tidak tahu apakah usaha kita itu akan berhasil. Kita dapat
menertawai diri sendiri, lihatlah manusia itu sial.
Kita mempunyai
sahabat karib dan berusaha melestarikannya, namun tidak ada jaminannya. Kita
dapat menertawai diri sendiri sebagai manusia yang sial.
Kita dalam
keadaan sehat walafiat dan berusaha agar keadaan ini tetap. Namun siapa tahu
penyakit menyerang sewaktu waktu. Maka diri kita ini sebagai manusia memang
sial.
Kita
mengidam-idamkan sesuatu, kita tidak tahu apakah idam-idaman itu bisa tercapai
atau tidak. Kalau tercapai, kita takut terlepas lagi, kalau tidak tercapai
membuat hati merana. Manusia memang sial.
Demikian rasa
berkuasa membikin orang selalu bersenang-senang menyembah.
Akan tetapi
orang bisa salah menangkap arti wejangan di atas. Ketika diberi tahu bahwa
dirinya sebagai manusia bersifat sial, ia lalu merasa sial. Kemudian ia mengira
bahwa yang memberi tahu ialah yang berkuasa dan ditanyakan, "Bagaimana
jalannya agar berkuasa?" Yang ditanya pun mengajarkan berbagai pertapaan,
tirakatan yang sulit dan aneh, untuk memperoleh kekuasaan. Di bawah ini
disebutkan beberapa contoh.
Orang merasa
sial karena takut menjadi tua dan mati, sedangkan ia tidak dapat
mengelakkannya. Oleh gurunya diajarkan agar ia bertapa yang aneh-aneh supaya
mendapat karunia awet muda dan setelah mati bisa hidup langgeng.
Orang merasa
sial karena ingin mempertahankan keadaannya yang serba kecukupan namun tidak
tahu jalannya. Oleh sang guru diajarkan bertapa yang aneh-aneh. Ada yang
disuruh memuja Dewi Sri, ada pula yang disuruh mengumpulkan emas dan lain-lain.
Kalau taat dalam pertapaannya dan dianugerahi, harapannya dapat dipenuhi, yakni
hidupnya akan kecukupan selamanya.
Orang merasa
sial karena tidak tahu bagaimana jalannya untuk melestarikan pangkat dan
kedudukannya. Oleh gurunya diajarkan agar tirakat yang aneh-aneh. Bila dimarahi
oleh majikannya atau pemimpinnya, supaya mengucapkan mantra, Suk Mum Bu Mum,
sembari menggenggam kedua ibu jarinya. Dalam hati mengatakan, "Aku tidak
menggenggam jempol melainkan menutup mulut majikanku." Dan bila
dianugerahi ia akan dapat bertahan dalam kedudukannya.
Orang merasa
sial karena tidak tahu bagaimana melestarikan kemesraan hubungan dengan
keluarganya. Gurunya lalu mengajarkan tirakat yang aneh-aneh, seperti Aji Jaran
Goyang, Rejuna Jalur, Ati Kitab Jusuf, agar supaya dicintai oleh
suami/istrinya.
Atau orang
merasa sial karena tidak tahu bagaimana melestarikan persahabatannya. Oleh
gurunya diajarkan supaya setiap malam membaca mantra agar dikasihi banyak
orang. Orang merasa sial karena tidak tahu bagaimana menjaga badannya agar
tetap sehat. Ia lalu diajar yang aneh-aneh, yakni supaya minta bantuan
saudaranya yang disebut "kakang kawah adhi ari-ari" (lendir dan
ari-ari yang menempel pada bayi waktu dalam kandungan) untuk menjaga
kelestarian kesehatannya.
Orang merasa
sial karena tidak tahu apakah cita-citanya akan berhasil. Ia lalu diajar yang
aneh-aneh seperti bersemadi dengan menutup sembilan lubang panca indera,
mencari tahu arti isyarat-isyarat, bisikan hati, ilham dan sebagainya. Bila
dianugerahi ia dapat meramalkan berhasil atau gagalnya cita-citanya, sehingga
ia dapat meneruskan atau menghentikan usahanya menuntut cita-citanya
Orang merasa
sial karena gagal dalam usaha meraih cita-citanya. Ia lalu diajar supaya ingat
akan percobaan Yang Kuasa, dan supaya sabar serta rajin memohon ampun. Kalau
dianugerahi ia akan memperoleh kemuliaan besar setelah mati. Ia lalu berbuat
yang aneh-aneh.
Orang merasa
sial karena takut kalau-kalau hasil usahanya akan musnah kembali. Ia lalu
diajar supaya berterima kasih kepada Yang Kuasa yang telah memberinya. Sehingga
kalau dikaruniai, Yang Kuasa akan melindunginya.
Orang merasa
sial karena kecewa bahwa idam-idamannya yang telah tercapai hilang lagi. Ia
lalu diajar supaya tidak menyesali hal tersebut dan percaya kepada nasib.
Nasibnya sudah ditetapkan di atas papan tulis sebelum ia lahir. Maka ia harus
rajin-rajin memohon kepada yang menentukan nasib. Kalau permohonannya diterima
ia akan memperoleh ganti berlipat ganda, setelah mati.
Demikianlah,
apabila wejangan salah diterima, menyebabkan orang bertindak yang aneh-aneh. Kekeliruan
itu disebabkan adanya rasa yang tidak jelas. Bahwa manusia itu sial, ini sudah
jelas. Tetapi apakah sial itu keadaan atau sifat, ini belum jelas. Kalau sial
itu keadaan, ia dapat berubah. Tetapi kalau sial itu sifat, ia tak dapat
berubah, yakni berubah menjadi kuasa.
Apabila orang
mengira sial sebagai keadaan, anggapan itu keliru. Ia lalu berusaha keras
mencari kuasa di dalam ruang dan waktu. Kalau ia mencari kuasa dalam ruang, ia
lalu belajar "ngraga sukma" yakni mengeluarkan jiwanya dari raganya,
agar jiwanya dapat terbang di angkasa, mengitari dunia, dan kemudian dapat
meramalkan kejadian di tempat jauh, walaupun jika meramalkan kejadian pada
dirinya sendiri yang dekat tak pernah tepat dan mengecewakannya. Lagi pula mata
jiwa berbeda dengan mata raga (mata kepala). Kalau jiwa melihat rumah, tentu
rumah bagi jiwa, bukan rumah untuk raga. Kalau jiwa makan nasi, tentu nasi
untuk jiwa, bukan nasi untuk raga. Kalau ia mencari kuasa dalam waktu, ia lalu
belajar bersemedi agar dapat mengetahui kejadian yang sudah dan yang belum
terjadi. Dianggapnya bahwa peristiwa yang telah dan yang belum terjadi itu
ditulis di atas papan angkasa, yang dapat dibaca oleh mata batin yang melek,
sehingga dapat dipakai untuk meramal, walaupun kalau ia meramalkan kejadian pada
dirinya sendiri yang sekarang sedang tergila-gila kepada seseorang tidak pernah
tepat, sehingga ia kecewa. Demikian wejangan yang salah ditangkap, menyebabkan
orang berlaku yang tidak wajar.
Maka apabila
rasa sial dianggap sebagai sifat, anggapan itu benar. Walaupun penjabarannya
masih bisa keliru, sehingga orang mencari Yang Kuasa dan melakukan hal yang
aneh-aneh yang tak enak rasanya. Kekeliruan itu disebabkan tidak jelasnya rasa
berkuasa. Padahal kuasa adalah rasa tidak butuh.
Jadi bila kita
mengerti bahwa sifat manusia itu sial karena butuh, lalu tidak mencari kuasa.
Dengan sendirinya kita lalu berkuasa karena tidak butuh kuasa. Kemudian kita
dapat menertawai kesialan kita sendiri. Demikian itu menyembah yang benar.
Rasa kuasa
ialah rasa enak, maka wejangan tersebut membikin orang merasa enak. Apabila
orang menanggapi wejangan dengan tepat, ia merasa berkuasa, enak, yakni hasil
wejangan yang semestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar