MENYEMBAH YANG KUASA
Hal. 1/2
PENGANTAR
Orang sering
ingin menyembah dan merasa sudah menyembah pada Yang Kuasa. Hal itu terdorong
oleh berbagai ajaran yang diperolehnya. Salah satu ajaran menerangkan bahwa
rumah itu ada pembuatnya yakni manusia, maka bumi dan langit dengan semua
isinya pasti ada juga pembuatnya, yaitu Yang Kuasa. Ia dinamakan Yang Kuasa
sebab ia kuasa membuat apa saja yang tak mungkin dibuat oleh manusia. Bahkan
Yang Kuasa itu pun memberikan hidup serta penghidupan jiwa dan raganya. Malah,
anak, istri, dan suaminya juga pemberian Yang Kuasa. Angin, hujan, matahari dan
lain-lain termasuk pemberian Yang Kuasa.
Oleh karena
Yang Kuasa itu yang memberikan segala sesuatu, maka pantas sekali jika orang
memohon dan menghaturkan terima kasih kepadanya. Andaikata ia tidak diberi
matahari, betapa besarnya biaya langganan listrik Aniem (nama perusahaan
listrik zaman kolonial Belanda) yang harus dibayarnya. Oleh karenanya orang
lalu menyembah dan memohon kepada Yang Kuasa.
Adapun cara
menyembahnya berbagai macam. Ada yang dengan membakar dupa/kemenyan di depan
pohon besar. Ada yang memberi sesajen di jalan perempatan (simpang empat). Ada
yang memuja sesuatu dan sebagainya.
Menyembah Yang
Kuasa dengan menghaturkan terima kasih tidak selalu dapat dijalankan, karena
pada waktu orang menderita sakit atau mengalami kesusahan, ia tidak yakin bahwa
sakitnya dan kesusahannya itu pemberian Yang Kuasa, sehingga ia mengurungkan
niatnya. Pikirnya, mustahil Yang Kuasa memberikan sakit dan kesusahan pada umatnya.
Perbuatan itu bertentangan dengan kekuasaannya yang bisa dianggap
sewenang-wenang.
Apabila timbul
masalah seperti di atas, orang lalu diberi penjelasan, bahwa pemberian yang
lebih baik dari Yang Kuasa ialah setelah orang meninggal dunia. Apabila ia menyembah
dengan sungguh hati, ia akan memperoleh kemuliaan abadi setelah mati.
Di sini maksud
menyembah sudah berubah. Kalau maksud semula untuk menghaturkan terima kasih,
sekarang untuk memperoleh kemuliaan setelah mati, dengan kata lain sebagai
sogokan. Lagi pula orang menderita kesusahan pada waktu sekarang, sabarkah ia
menanti kemuliaan setelah mati. Tentu tidak, sebab daya upayanya mengatasi
kesusahan belum habis.
Dalam persoalan
di atas kepada orang itu diajarkan lagi, apabila ia benar-benar memohon sepenuh
hati kepada Yang Kuasa, pasti akan dikabulkan keinginannya dalam hidupnya
sekarang. Peribahasanya: siapa patuh akan dikaruniai.
Hal tersebut
jika dipikirkan, jelas tidak nalar. Karena kalau semua permohonan bisa
dikabulkan, jagat dengan semua isinya menjadi kacau. Misalnya petani mohon
hujan, sedang pemain ketoprak mohon cuaca terang. Sulitlah dua macam permohonan
yang bertentangan itu dilaksanakan. Maka menyembah demikian itu tidak masuk di
akal.
Jadi, menyembah
dengan maksud menghaturkan terima kasih, tidak dapat dilakukan bila orang
sedang sakit atau susah. Menyembah dengan maksud memperoleh kemuliaan setelah
mati, orang pasti tak sabar menanti. Menyembah dengan maksud agar dikabulkan
permohonannya, pasti tidak dapat terkabul semua.
Adapun cara menyembah yang masuk di akal, ialah apabila orang mengerti:
- Yang menyembah itu
apa
- Yang disembah itu
apa
- Bagaimana cara menyembah
Supaya jelas,
ketiga hal tersebut perlu diteliti.
1. Yang Menyembah
Tanpa meneliti
dengan cermat, orang menyatakan, bahwa yang menyembah adalah orang. Pernyataan
tersebut tidak jelas, karena jika yang diartikan orang, ialah setiap orang yang
berwatak menyembah, maka kita tidak perlu lagi bersusah payah, dengan
sendirinya sudah menyembah. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Kenyataannya
yang menyembah adalah orang yang sedang malang hidupnya. Karena kalau ia sedang
mujur, beruntung, ia tidak menyembah. Jadi yang menyembah ialah yang merasa
sial nasibnya.
Di sini timbul
dua macam pertanyaan. Pertama bagaimanakah orang merasa sial? Dan kedua, apa
pula yang menyebabkannya merasa sial?
Orang merasa
sial tatkala mendapat kesulitan, dan merasa tak mungkin terlepas dari kesulitan
itu. Sedangkan ia selalu berusaha melepaskan dan menolak kesulitan itu namun
tak berhasil. Jadi sial itu sama dengan keinginan tidak tercapai.
Sebagai contoh,
orang yang sedang menikmati hidupnya yang sejahtera, merasa umurnya semakin
tua, mendekati saat ajalnya tiba. Menurut keinginannya, jangan sampai ia
menjadi tua dan mati. Maka ia merasa sial karena keinginannya tak tercapai.
Padahal
kesialan itu disebabkan kurangnya pengertian akan kesulitan. Kesulitan adalah
akibat dari suatu sebab. Apabila penyebabnya lenyap, akibatnya pasti turut
lenyap. Orang yang mengerti demikian itu tidak merasa sial. Ia lalu mencari tahu
sebab-musababnya kesulitan. Kurangnya pengertian akan kesulitanlah yang
menyebabkan kesulitan.
Jadi yang
menyembah ialah yang merasa sial. Yang merasa sial ialah keinginan yang tak
tercapai. Dengan kata lain yang menyembah ialah keinginan yang tak tercapai.
Padahal yang
menyebabkan orang merasa sial ialah kurangnya pengertian akan kesulitan. Maka
bila ia mengerti akan kesulitan, sebab rasa sial itu sirna. Dan bila sebabnya
sirna, akibatnya, yakni rasa sial, pasti sirna.
Tadi sudah
dikatakan bahwa yang menyembah ialah yang merasa sial. Maka kalau yang merasa
sial sirna, berarti yang menyembah sirna. Demikianlah bila mengerti sebabnya
kesulitan, yang menyembah pun sirna. Dan bila yang menyembah sirna, yang
disembah pun turut sirna. Namun perlu dijabarkan apakah yang disembah itu.
2. Yang Disembah
Menurut
keterangan di atas jelas, bahwa bila yang menyembah, yang merasa sial atau yang
keinginannya tak tercapai, maka yang disembah tentulah yang merasa berkuasa
atau yang keinginannya tercapai.
Misalnya
seorang yang sedang memiliki banyak harta benda, ia merasa berkuasa, lalu
berhenti menyembah. Malah sebaliknya, ia disembah oleh orang yang keinginannya
tak tercapai. Orang berkuasa itu disodori makanan, pakaian, dengan hormat
sekali. Lebih-lebih kalau ingin meminjam uang darinya.
Di sini akan
saya terangkan proses rasa sial yang mengadakan barang yang disembah. Kalau
kita mengerti yang menyembah rasa sial, maka yang disembah ialah yang merasa
berkuasa.
Tatkala orang
menderita kesusahan, dan ingin menolaknya, ia tidak mencari tahu sebab-musabab
kesusahannya, sehingga usahanya menolak kesusahan pun sia-sia. Lalu ia merasa
sial, celaka. Rasa sial itu mendorongnya untuk minta pertolongan Yang Kuasa.
Dicarinya dukun-dukun atau guru-guru yang dapat menunjukkan jalan untuk menemui
Yang Kuasa.
Gambarannya
tentang Yang Kuasa ialah sesuatu yang dapat menolongnya menghindari kesulitan.
Dibayangkannya bahwa Yang Kuasa itu akan menggunakan kekuasaannya untuk
memenuhi permohonannya. Dan Yang Kuasa dapat mencipta sesuatu yang tidak ada,
menjadi ada, dan yang ada, menjadi tidak ada. Misalnya Gunung Merapi yang ada
dapat dicipta lenyap. Maka orang menggunakan kekuasaan Yang Kuasa untuk
memperoleh yang dimintanya.
Yang diminta
orang ialah menghindari kesulitan. Kalau kesulitannya berupa utang yang tak
dapat ia bayar, ia memohon kepada Yang Kuasa agar utangnya dicipta menjadi
lunas. Kalau kesulitannya berupa rindunya terhadap seseorang, ia mohon kepada
Yang Kuasa agar orang yang dicintai berbalik mencintai dirinya. Namun yang
sering terjadi si pemohon semakin tergila-gila, lupa daratan. Jadi yang
dianggapnya Yang Kuasa adalah anggitan si orang yang merasa sial itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar