RASA BEBAS
Hal. 1/2
Rasa bebas
adalah rasa tidak bertentangan (konflik). Apabila orang melihat sesuatu dan
mengerti sifatnya, ia akan merasa bebas; yakni tidak berselisih dengan sesuatu
yang dilihat dan dimengerti. Melihat dan mengerti itu tidak hanya melalui panca
indera, tetapi juga dengan rasa hati dan pikiran.
Bila melihat
dan mengerti dalam diri orang itu terpisah, hal itu tidak dapat menimbulkan
rasa bebas. Misalnya seorang digigit nyamuk malaria. Ia memperoleh keterangan,
bahwa nyamuk malaria itu, setelah menggigit orang yang menderita sakit malaria,
ia tentu mengandung kuman-kuman penyakit, dan akan menularkan penyakit pada
orang lain yang digigitnya. Mendengar keterangan semacam itu, orang dapat
mengerti, tetapi tidak melihat prosesnya. Maka tatkala ia menderita sakit
malaria dan makan obat malaria, namun penyakitnya tidak sembuh, berselisihlah
ia dengan penyakit malaria, maka ia merasa tidak bebas. Demikian bila orang
mengerti, tetapi tidak melihat, sehingga ia tidak bebas.
Sebaliknya,
walaupun melihat, kalau tidak mengerti, orang pun tidak akan bebas. Umpama,
kita melihat bola lampu di atas ini, yang bentuknya bulat dan cahayanya terang.
Tetapi bila kita tidak mengerti bagaimana cara memadamkan atau menyalakannya,
jikalau bola lampu itu tiba-tiba padam, kita menjadi bingung, lantas bertengkar
dengan bola lampu itu, sehingga tidak bebas.
Jadi rasa bebas
atau tidak berselisih itu timbul, jika kita serentak melihat sesuatu dan
mengerti sifatnya. Misalnya kita melihat dan mengerti, bahwa api itu bila
dipegang dapat membakar tangan. Maka kita merasa bebas dan tidak bertengkar
dengan api. Artinya, kita tidak berusaha mengubah sifat api itu, sehingga tidak
membakar tangan yang memegangnya. Rasa bebas ini melahirkan perbuatan yang
pasti benar. Tegasnya kita tidak akan berbuat, tanpa sengaja memegang api.
Supaya lebih
jelas, saya beri contoh lain lagi. Misalnya kita melihat dan mengerti, bahwa
ular belang itu berbisa, ia dapat membinasakan orang yang dipagutnya. Maka
bebaslah kita untuk tidak menentang ular itu. Tegasnya, kita tidak perlu
berusaha mengubah sifat ular belang itu supaya tidak berbisa. Tindakan kita
yang tepat dalam menghadapi ular itu, ialah menyingkiri atau mengusirnya.
Melihat dan
mengerti terhadap rasa batin (emosi} pun dapat menimbulkan rasa bebas atau
tidak berselisih, antara batin yang melihat dan batin yang dilihatnya.
Sebaliknya, bila melihat dan mengerti terhadap rasa-rasa itu terpisah, hal itu
tidak menimbulkan kebebasan, melainkan perselisihan. Misalnya kita sedang
marah, kita menyadari kemarahan itu. Tetapi kita tidak mengerti makna marah
kita itu. Karena itu kita menentang kemarahan kita, yang berwujud perbuatan
menahan marah. Pertentangan itu merupakan perang batin, dalam mana pada suatu
saat kita merasa "aku marah", pada saat kemudian kita merasa
"aku menahan marah". Sehingga kita bingung untuk menentukan diri kita
sendiri ini yang mana. Yang marah, atau yang menahan marah. Kita mengira bahwa
kedua rasa itu, berasal dari dua unsur yang berlainan. Padahal, rasa yang marah
dan rasa yang menahan marah itu sebenarnya adalah sama sifatnya. Pada waktu
kita marah, kita merasa bahwa kemarahan itu akan menimbulkan tindakan yang
berakibat tidak enak. Untuk menghindari hal itu kita lalu berusaha menahan
marah, atau dengan kata lain, menentang marah. Jika diteliti rasa menahan atau
menentang marah itu, ternyata juga rasa marah; yakni marah terhadap
diri-sendiri. Kalau semula kita marah terhadap orang lain, kini kita marah
terhadap diri sendiri. Jadi yang yang menahan marah adalah si marah, yang masih
bersifat sama. Pengertian di atas itu melahirkan kesadaran bahwa diri-sendiri
si-marah tidak dapat mengubah kemarahan sendiri.
Dengan
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa diri-sendiri "si marah",
tidak dapat mengubah sifat dirinya. Setiap kali kita berusaha mengubah diri
sendiri, selalu tidak berhasil, melainkan berganti rupa. Yaitu si marah menjadi
si menahan marah. Bila kita sudah mengerti bahwa kita tidak dapat mengubah
diri-sendiri, maka kita tidak ingin mengubah. Bila kita, dalam keadaan perang
batin itu tidak ingin mengubah diri-sendiri, maka diri-sendiri lalu 'diam,
tidak bergerak'. Dengan kata iain, berarti diri-sendiri 'mati'. Sudah tentu
yang mati bukan raga kita, melainkan rasa "aku" kita, atau rasa
"aku" si Kramadangsa. "Kramadangsa" ini adalah rasa
"aku", identik dengan namanya sendiri-sendiri. Orang itu mempunyai
nama sendiri-sendiri, dan merasa "aku" dengan namanya
sendiri-sendiri. Jika ia bernama Suta, ia merasa aku si Suta, jika ia bernama
Naya, ia merasa aku si Naya. Rasa aku identik dengan nama sendiri ini, saya
beri istilah "Kramadangsa".
Jadi yang marah
itu adalah diri-sendiri yang merasa aku si Kramadangsa, dan yang menahan marah
pun si Kramadangsa. Jika Kramadangsa ini mati, tentu perbuatan marahnya tidak
terlaksana. Mengerti atas kemarahan sendiri demikian itu, kita bebas dari
kemarahan kita sendiri. Artinya kita tidak bertentangan dengan marah kita.
Kebebasan ini, pasti melahirkan perbuatan benar, yang tidak mungkin salah. Bila
kita bergaul dengan orang lain, kita dapat mengetahui rasa orang itu.
Mengetahui rasa orang lain pun, menimbulkan rasa bebas, yang tidak berselisih
dengan orang lain. Tidak berselisihan ini, berarti tidak menabrak rasa orang
lain, oleh karenanya damai dalam hubungannya.
Rasa yang perlu
dilihat dan dimengerti itu, ialah rasa kita sendiri. Karena meskipun kita
mengetahui banyak macam barang-barang, tetapi bila kita tidak mengetahui diri
kita sendiri, pasti berselisihan dengan diri-sendiri, dan timbulah perang batin
(konflik). Tetapi kita takut melihat diri-sendiri dan kita berusaha menutupi
diri-sendiri, supaya tidak tampak seperti diri-sendiri. Bila diri-sendiri sudah
kelihatan tidak seperti diri-sendiri, barulah kita puas. Jadi kita tidak puas
hanya sebagai mana adanya diri-sendiri. Sekarang, mari kita teliti rasa kita
sendiri, yang takut melihat diri-sendiri ini.
Terlebih dahulu
saya jelaskan dalil saya, ialah bahwa kita takut melihat diri-sendiri ini
adalah sama dengan setiap orang. Tetapi kita takut melihat kenyataan, bahwa
diri kita itu sama dengan orang lain. Maka kita cari tutupnya, untuk menutupi
diri-sendiri, supaya tidak sama dengan setiap orang. Sehingga kita berusaha
mati-matian mencari kekayaan, kedudukan dan kekuasaan (bhs. Jawa: semat,
drajat, kramat) untuk menutupi diri-sendiri, agar supaya tidak tampak keadaan
yang sesungguhnya. Kekayaan atau harta benda, kecuali untuk kebutuhan
penghidupan, kita pakai untuk menutupi diri kita. Misalnya kita memakai pakaian
baru yang mahal dan bagus, kita lantas congkak dan sombong. Rasa congkak dan
sombong ini jika diteliti, berarti kita merasa beda dari keadaan kita yang
sebenarnya, yaitu kita sudah merasa lain dari pada setiap orang.
Bila kita
melihat dan mengerti bahwa diri kita adalah sama dengan setiap orang, maka kita
dapat meneliti diri-sendiri sebagai berikut: "Saya memakai baju baru
mengapa menjadi congkak, sombong, ini karena apa? Apakah kalau bajuku baru,
diriku pun turut menjadi baru? Sudah barang tentu sifat diriku yang sebenarnya,
masih tetap sama seperti yang kemarin itu." Demikian kita menutupi
diri-sendiri namun tidak mengubah keadaan yang sesungguhnya.
Kedudukan pun
dipakai untuk menutupi diri kita sendiri. Misalnya kita baru saja memperoleh
kenaikan pangkat, lantas kita merasa congkak, sombong. Bila kita mengerti bahwa
diri-sendiri sama dengan setiap orang, maka kita dapat meneliti kecongkakan dan
kesombongan kita demikian: "Aku dapat kenaikan pangkat, mengapa menjadi
congkak, sombong ini karena apa? Apakah kalau pangkatku tinggi, sifat batinku
pun menjadi tinggi? Sudah tentu sifat diriku yang sebenamya masih sama saja
seperti yang kemarin itu."
Bila kita
memeluk salah satu agama, agama ini pun kita gunakan untuk menutupi diri kita
sendiri, supaya tidak kelihatan keadaan yang benar, dan kita dapat
menyombongkan diri. Memang agama itu baik karena ia mengajarkan:
"Janganlah berdusta." Tetapi apakah kita dengan menganut pelajaran
itu, lantas menjadi baik dan tidak berdusta? Sudah barang tentu sifat batin
kita yang sesungguhnya, masih tetap seperti kemarin ini. Demikian kita berusaha
menutupi diri, namun kita tetap sebagaimana adanya.
Umpama kita
masuk suatu kelompok ideologi yang bersemboyan: "Sama Rata Sama
Rasa". Semboyan itu pun kita pakai untuk menutupi diri kita. Sehingga kita
sombong dan merasa sudah berbeda dari kita sendiri. Padahal sifat kita masih
tetap sama, yaitu kita masih suka menyembunyikan uang isteri kita dan tidak
berlaku sama rata sama rasa. Demikian itu kita berusaha mati-matian mencari
tutupnya, untuk menutupi supaya tidak tampak seperti kita sendiri.
Ada lagi tutup
yang berupa nama-nama dari orang-orang termashur. Misalnya yang kita pakai
nama-nama jalan, seperti jalan Diponegoro, Imam Bonjol dan lain-lain. Hal mana
mencerminkan bahwa kita berpegangan pada orang-orang ternama.
Misalnya kita
mengandal pada Prabu Joyoboyo yang di dalam dongeng kesohor, karena ia dapat
meramalkan masa tujuh ratus tahun yang akan datang. Orang ternama itu, sering
kita pergunakan untuk menakuti isteri kita sendiri, demikian: "Lihatlah
Prabu Joyoboyo ini, ternama, hal-hal yang akan terjadi tujuh ratus tahun
kemudian, ia sudah mengetahuinya. Apakah kamu tidak takut?" Biasanya
isteri kita menjawab: "Kalau terhadap Prabu Joyoboyo, aku takut. Tetapi
terhadap kamu, tidak!" Demikian kita mati-matian mencari tutup, yang
berupa orang-orang termashur, untuk menutupi diri kita, agar tidak tampak
keadaannya yang asli.
Sekarang
marilah kita teliti, bagaimana sifat kita yang sama dengan setiap orang itu?
Kita masing-masing merasa pribadi, yaitu merasakan apa saja secara sendiri,
tidak dapat mewakilkannya kepada orang lain. Umpama saya menderita sakit gigi,
dan saya minta saudara saya untuk mewakili penderitaan itu. Dapatkah sakit gigi
itu dipindahkan kepada orang lain, pastilah tidak mungkin. Mau tidak mau, harus
saya derita sendiri. Demikian rasa pribadi, yang berarti menanggung sendiri
segala perasaan kita.
Oleh karena
setiap orang itu merasa pribadi, maka kita masing-masing mencari enak (senang)
sendiri (pribadi); dengan tidak mempedulikan orang lain. Meskipun orang lain
itu terdiri dari anak atau isteri kita. Maka kita ini sebenarnya tidak
mencintai anak-isteri kita, melainkan pura-pura mencintai mereka. Demikian kita
menutupi diri supaya tidak kelihatan sifat kita yang sebenarnya.
Mari
saudara-saudara saya ajak bersama-sama meneliti diri kita sendiri. Apakah kita,
benar-benar mencintai suami/isteri kita? Ingatlah akan maksud kita pada waktu
kita memilih calon suami/isteri kita. Apakah benar-benar kita ingin
membahagiakan mereka sebagai manusia? Kaiau kita ingin membahagiakan manusia
saja, ada ribuan manusia yang bersedia untuk dibahagiakan. Tetapi kita hanya
ingin membahagiakan satu orang saja, yaltu calon suami/isteri kita. Maka
jelaslah keinginan itu bukanlah cinta kasih, melainkan rindu asmara, mengejar
kenikmatan diri-sendiri. Rasa hati kita: "Bila aku berjodoh dengan orang
itu, aku akan senang sekali." Kita semata-mata memikirkan kesenangan
diri-sendiri dengan tidak memperdulikan kepentingan calon suami/isteri kita.
Jadi menghargai suami/isteri kita, hanyalah sebagai barang untuk kesenangan.
Sama dengan barang-barang kesenangan yang berupa burung perkutut, kucing,
dengkek (nama kartu ceki, dalam bahasa Jawa) dan sebagainya. Misalnya kita
memelihara burung perkutut, bila burung itu bersiul bagus
"hoorketekung", kita akan menambah makannya, air minumnya, dan memandikan
serta mengereknya tinggi-tinggi. Tetapi bila burung itu berbunyi buruk
"tekekkek", kita lantas benci dan membantingnya. Demikian juga
tindakan kita terhadap suami/isteri kita, bila mereka tidak menyenangkan kita,
seperti perkutut yang berbunyi "hoorketekekkek" kita segera
membantingnya. Maka dalam setiap pertengkaran antara suami-isteri, tidak lain
dan tidak bukan disebabkan oleh tindak-tanduk yang tidak menyenangkan satu sama
lain, seperti perkutut bersiul "hoorketekekkek" itu.
Oleh karena
kita tidak mau melihat diri-sendiri sebagaimana adanya, maka kita lalu menutupi
diri sebagai berikut: "Sebetulnya aku ini mencintai isteri, buktinya aku
membelikan pakaian dan rumah yang bagus." Tetapi kalau diteliti, apakah
membelikan barang-barang itu berarti cinta? Misalnya seorang suami, tatkala ia
pulang dari luar negeri, membawa oleh-oleh berupa kain-kain indah untuk
isterinya; dengan harapan bahwa sang isteri tentu akan senang dan ketawa bila
melihat barang-barang tanda kecintaannya. Tetapi ternyata isterinya tidak
ketawa senang, malah mengomeli: "Kamu pergi jauh-jauh ke luar negeri,
hanya membawa kain semacam itu, di Jakarta saja banyak yang menjualnya."
Bagaimana tanggapan suami itu, apakah ia masih tetap mencintai isterinya?
Tentulah tidak, bahkan sebaliknya, ia akan kecewa dan marah. Maka jelaslah, hal
itu bukanlah cinta kasih, melainkan sebagai hal jual-beli, yakni si suami
membayar dengan kain untuk membeli tawa si isteri. Demikian dalam hubungan
suami-isteri, masing-masing pihak mengharapkan faedah sebanyak-banyaknya, dan
memberi faedah sedikit mungkin.
Begitu juga
terhadap anak-anak kita, kita pun tidak mencintainya. Yang sering kita anggap
sebagai cinta kasih, ialah hasrat hidup untuk melangsungkan keturunan. Misalnya
di waktu anak kita masih kecil, kita rawat baik-baik supaya bisa berlangsung
hidupnya. Sama halnya dengan kucing atau hewan lain, yang melindungi anaknya
yang masih kecil. Tetapi bila anak itu sudah dewasa, kita sering mengajaknya
bertengkar. Padahal pertengkaran itu bukanlah cinta kasih.
Di samping
untuk melanjutkan keturunan, anak itu kita anggap sebagai dana pensiun dan alat
kebanggaan. Kita merasa: "Anakku kudidik demikian rupa, agar ia memperoleh
ijazah dan kedudukan baik dengan penghasilan besar. Karena jika saya sudah tua
dan tidak kuat lagi bekerja, anakkulah yang memberi pensiun padaku."
Bahkan penilaian ini sering menyeleweng jauh demikian: "Jika anakku
berpenghasilan besar, sedang aku sudah tua, tidak bekerja lagi, tetapi masih
butuh tambah isteri, maka kuharap ia akan mengawinkan aku lagi."
Selain untuk
cadangan pensiun, kita menilai anak sebagai alat kebanggaan. Maka jika anak
tidak membanggakan kita, tetapi mencemarkan nama kita, marahlah kita dan
mengusirnya. Demikian persamaan diri kita dengan orang lain, atau setiap orang,
yaitu kita sendiri merasa pribadi, mencari enak pribadi, dengan mengorbankan
orang lain; walaupun anak-isteri/suami sendiri. Oleh karena itu, kita sendiri
bila diganggu atau dirugikan lantas marah, sekalipun yang mengganggu
anak-isteri-suami. Jadi sifat kita ini sebenarnya buas, galak. Padahal marah
itu tidak mengenakkan, melainkan menyakiti orang lain, maka kita ini suka
menyakiti orang lain; ibarat senjata yang ampuh. Jadi dapat dikatakan kita ini
buas! galak dan ampuh, yang sama dengan tabiat sewenang-wenang. Maka
kesimpulannya sifat kita sendiri ini buas, ampuh, sewenang-wenang, yang sama
dengan orang lain atau setiap orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar