ILMU JIWA KRAMADANGSA
Hal. 1/4
BAGIAN I
(Bagian pertama dan kedua dibawakan oleh Ki
Pronowidigdo)
Adapun yang
saya ceramahkan malam ini adalah llmu Jiwa Gambar Kramadangsa. Ilmu mengenai
jiwa orang, dan jiwa adalah rasa. Rasa itu yang mendorong orang berbuat apa
saja. Orang bertindak mencari air minum karena terdorong oleh rasa haus,
bertindak mencari bantal untuk tidur karena terdorong oleh rasa kantuk dan
seterusnya. Maka rasa itu menandai hidup orang. Kalau hanya ada badan saja
tanpa rasa, disebut bangkai. Mempelajari tentang rasa adalah mempelajari
tentang orang. Sedangkan kita sendiri pun orang. Jadi mempelajari tentang
orang, dapat dikatakan mempelajari diri sendiri atau mengetahui diri sendiri
(bhs. Jawa: pangawikan
pribadi).
Diri sendiri
yang manakah yang dipelajari? Ialah diri sendiri yang diberi dan memiliki nama
khusus. Kalau namanya Krama, merasa aku si Krama, atau kalau namanya Suta,
merasa aku si Suta. Rasa yang bergandengan dengan namanya itu, saya istilahkan
"Kramadangsa". Kramadangsa ini yang menyahut bila namanya
dipanggil orang. Rasa namanya sendiri atau Kramadangsa iniiah yang akan kita
teliti. Penelitian itu tidak sukar apabila kita mau, karena rasa itu melekat
pada diri kita setiap hari, hingga untuk menelitinya tidak perlu pergi jauh-jauh.
Maka dalam mengikuti ceramah ini bila ada sebutan "Kramadangsa",
gantilah dengan nama Anda masing-masing, untuk mencocokkan kebenaran uraian
saya ini.
Kramadangsa ini
menyatukan diri dengan segala rasa yang timbul dalam dirinya. Misalnya timbul rasa
haus, Kramadangsa merasa "aku haus", atau yang haus adalah
"aku". Jika timbul rasa kantuk, lapar, dirasakannya "aku
ngantuk", "aku lapar" dan seterusnya. Kramadangsa inilah yang
merasa beda dari semua orang lain di seluruh dunia. Tegasnya kecuali aku, orang
lain diperlakukan sebagai "kamu".
Sekarang
marilah kita mulai meneliti, bagaimana kelahiran dan perkembangan rasa
Kramadangsa dalam diri kita masing-masing.
Ketika kita
masih sebagai bayi, kita bertindak sebagai juru catat, yang mencatat segala hal
yang berhubungan dengan diri kita. Misalkan sebagai bayi kita melihat sesuatu,
mendengar sesuatu, menjilat dan merasakan sesuatu, sesuatu itu kita catat.
Seperti saya melihat lampu ini, lantas saya mencatatnya.
Catatan lampu
dan lampunya yang dicatat, adalah dua barang terpisah, yang tidak bersangkutan.
Umpama lampu yang dicatat itu pecah, catatan lampu yang ada dalam diri saya,
tidak turut pecah. Sebaliknya, bila saya tiba-tiba mati, catatan lampu yang ada
dalam diri saya rusak, tapi lampu yang dicatat itu, tidak turut rusak.
Untuk melihat
catatan-catatan itu harus memakai mata batin, tidak dapat memakai mata kepala.
Seperti saya sekarang di Jakarta, dengan mata terpejam melalui mata batin,
dapat melihat catatan rumah saya di Yogyakarta, jelas sekali.
Dengan
perantara pancaindera, kita mencatat segala rupa penglihatan, suara, rasa dan
sebagainya; yang berjuta-juta jumlahnya, tidak kunjung penuh. Maka isi catatan
kita itu, lebih besar jumlahnya dari pada isi dunia. Karena rasa sendiri, yang
tak ada di dunia luar, ada dalam catatan.
Pemisahan
catatan dari hal yang dicatat sebagai berikut, misalnya saya berkata:
"Kemarin saya minum air kelapa muda, segar rasanya." Pada waktu saya
berkata itu, rasa segar sudah tidak ada, tapi saya dapat mengatakannya, karena
melihat catatan rasa segar yang masih ada dalam ingatan saya.
Peranan kita
sebagai juru catat ini, boleh dikatakan hidup dalam ukuran kesatu, seperti cara
hidup tumbuh-tumbuhan. Pekerjaannya tidak lain hanya mencatat, dan bila
berhenti mencatat, matilah juru catat itu. Hasil pekerjaan mencatat, ialah
berupa bermacam-macam catatan yang berjuta-juta jumiahnya.
Catatan-catatan
itu barang hidup, yang hidup dalam ukuran kedua, seperti kehidupan hewan. Maka
sebagai barang hidup, catatan itu bila dapat makanan cukup, suburlah hidupnya,
tapi bila kurang makanan ia menjadi kurus, kemudian mati. Makanan
catatan-catatan itu berupa perhatian. Jika memperoleh perhatian besar,
catatan-catatan itu hidup subur, tapi jika tidak dapat perhatian,
catatan-catatan akan mati.
Sebagai contoh,
kita kaum laki-laki, barangkali masih ingat bahwa di masa kanak-kanak kita suka
bermain gundu, gasing, layang-layang dan sebagainya. Mengapa sekarang setelah
dewasa kita tidak melakukannya lagi, padahal catatan permainan-permainan itu
masih terdapat dalam ingatan kita? Karena catatan itu sudah lama tidak mendapat
perhatian, sampai menjadi kurus dan akhirnya mati; maka sudah tidak menarik si
Kramadangsa lagi.
Seperti halnya
benda-benda hidup lain, catatan ini pun pada saat terakhir mengalami sekarat (ulmaut).
Seperti lampu minyak yang habis minyaknya, pada saat terakhir menyala besar,
lalu padam.
Tetapi kalau
catatan masih hidup, ia masih menarik diri kita. Umpama catatan berjudi, yang
masih hidup dalam ingatan saya, menggerakkan hati dan badan saya, ketika saya
melihat orang-orang berjudi dalam suatu pesta. Walaupun mengalami kekalahan dan
habis uang, saya telah bersumpah tidak akan berjudi lagi. Tetapi bila nanti
memegang uang lagi dan melihat orang berjudi, saya segera mendekatinya untuk
turut serta pula.
Jika catatan
berjudi itu tidak diberi perhatian, ia akan menjadi kurus kemudian mati. Pada
saat mendekati kematiannya, catatan itu mengalami sakarat (ulmaut), berwujud
keinginan yang sangat besar untuk berjudi. Jika keinginan yang sangat besar ini
pun tidak diperhatikan, matilah catatan itu.
Apabila
catatan-catatan itu sudah cukup banyak jumiah dan jenisnya, barulah lahir rasa
Kramadangsa. Yaitu rasa yang menyatukan diri dengan semua catatan-catatan, yang
berjenis-jenis itu sebagai: harta-bendaku, keluargaku, bangsaku, golonganku,
agamaku, ilmuku dan sebagainya. Rasa aku si Kramadangsa ini, bagaikan tali
pengikat batang-batang lidi dari sebuah sapu lidi.
Kramadangsa ini
pun barang hidup, yang hidup dalam ukuran ketiga, karena tindakannya dengan berpikir.
Jadi Kramadangsa ini tukang pikir, memikirkan kebutuhan catatan-catatan di atas
tadi.
Supaya jelas,
di sini perlu saya ulangi mulai dari asal sampai terjadinya Kramadangsa.
Dimulai dari
bayi yang baru lahir, sudah mencatat apa saja yang berhubungan dengan dirinya.
Yang dari luar melalui pancaindra dan yang dari dalam melalui rasanya. Misalnya
pada waktu lahir bayi itu diterangi dengan lampu, di waktu lampu padam, ia
menangis. Disini bayi itu sudah membedakan terang dan gelap, hal itu telah
tercatat dalam catatannya. Kemudian ia mencatat benda-benda di bawah cahaya
terang. Ia pun mencatat rasa iapar yang timbul dalam dirinya dan rasa enak di
waktu diberi air tetek ibunya.
Apabila bayi
ini makin besar dan makin lengkap catatan-catatannya, ia pun dapat membedakan
lelaki dan perempuan, dan mengenali mana ibunya dan yang bukan. Kemudian
catatan-catatan itu menjadi dorongan bagi tindakan atau perbuatannya.
Kita orang
dewasa pun bertindak atau berbuat terdorong oleh catatan. Misalnya di jalan
kita melihat seorang wanita yang mirip dengan isteri kita. Kita tidak berani
segera menegur, sebelum mencocokkan wanita itu dengan catatan isteri kita, yang
ada dalam diri kita sendiri. Umpama bagian-bagian anggota badannya sama, tetapi
rambut ubannya tidak sebanyak uban isteri kita, kita belum berani memanggil.
Tetapi bila seluruh wujudnya sama dengan catatan kita, barulah kita bertindak
menegur: "Isteriku, kamu hendak ke mana?"
Jadi dalam hal
bayi tadi, apabila catatan-catatannya belum cukup dan belum lengkap, ia belum
dapat membedakan benda-benda dan menghubungkan sebab dan akibat
kejadian-kejadian, karena belum lahir rasa Kramadangsa. Oleh karenanya ia belum
dapat memikir. Memikir ialah membedakan pohon waru dengan pohon pisang,
menghubungkan sebab terjadinya gelas jatuh, yang mengakibatkan pecah. Setelah
bayi itu agak besar, sebagai anak kecil, ia pun belum mengerti hal ruang dan
waktu {zaman). Misalkan diperlihatkan bulan, ia berusaha memegangnya, dan bila
diberi pakaian baru untuk dipakai pada hari raya, ia menangis minta segera
dipakai sekarang juga.
Dapat dilihat
lebih jelas lagi, bahwa rasa Kramadangsa anak tadi belum lahir, ialah tiap ia
minta makan, ia tidak mengatakan: "Bu, aku minta makan," tetapi
mengatakan namanya: "Bu, Din minta makan," misalkan nama anak itu si
Din. Dan menyebut ibunya tidak sebagai "ibuku", tetapi sebagai
"ibu si Din".
Bila anak itu
sudah berusia tiga tahun ke atas, rasa Kramadangsanya sudah terbentuk, maka
bila ia minta makan, dikatakannya "Bu, aku minta makan." la merasa,
kecuali aku si Din, semua orang lain adalah bukan aku. Manakala ia melihat
ibunya disandari oleh kakaknya, ia tidak membolehkannya. Karena ia merasa ibuku
ialah milikku, bukan milik orang lain. Demikian seterusnya sehingga tua. banyak
hal dan benda-benda dinyatakan sebagai miliknya.
Berjuta-juta
catatan itu menggerombol, mendekati yang sama sifat coraknya dan menjauhi yang
lain. Seperti ayam mendekati kalkun, menjauhi kambing.
Dalam
gambar Kramadangsa di atas, ada sebelas kelompok
catatan. Kesebelas kelompok catatan tersebut adalah:
1. HARTA BENDA
2. KEHORMATAN
3. KEKUASAAN
4. KELUARGA
5. GOLONGAN
6. KEBANGSAAN
7. JENIS
8. KEPANDAIAN
9. KEBATINAN
10. ILMU PENGETAHUAN
11. RASA HIDUP
Perhatikan juga
bahwa dari ukuran ketiga (kramadangsa) hendak menuju ke ukuran keempat (manusia
tanpa ciri), terdapat simpang tiga. Untuk menuju ke ukuran keempat terdapat
penghalang yang berupa PENDAPAT BENAR, yaitu rasa benar sendiri.
Pembagian ini
dibuat dengan sengaja oleh Ki Ageng Suryomentaram. Orang lain dapat saja
membaginya menurut kehendak masing-masing, tidak terikat. Di luar
kelompok-kelompok di atas, masih banyak lagi catatan-catatan yang khusus,
misalkan ada barang-barang baru, kapal udara dan sebagainya yang tercatat dalam
catatan.
Catatan itu
hidup dalam ukuran kedua, sama dengan kehidupan binatang. Misalnya seekor
anjing sedang menyusui anak-anaknya, tiba-tiba orang datang mengganggunya.
Menggonggonglah anjing itu, siap untuk menggigit. Bila merasa menang ia
mengejar, dan bila merasa kalah ia lari. Langkah demikian itu bagi semua anjing
adalah sama.
Bagi manusia,
bila anaknya diganggu orang, ia pun segera marah, karena anak itu termasuk
catatan "keluargaku". Tapi tindakannya tidak seperti anjing,
dipikirkan cara melaksanakan amarahnya. Yaitu catatan "keluargaku"
memerintah tukang pikirnya, si Kramadangsa. Cara memikir Kramadangsa bagi
setiap orang berbeda-beda, disebabkan berbeda-bedanya catatan pengalaman
masing-masing orang. Sedangkan memikir adalah melihat catatan-catatan itu.
Misalnya si Suta, mengetahui bahwa anaknya di sekolah diganggu oleh anak lain.
Ia lantas marah dan setelah berpikir kemudian diambilnya keputusan untuk
melaporkan pada guru sekolah. Tapi bila hal tersebut terjadi pada si Naya, lain
pula tindakannya, mungkin ia akan mengadukan pada polisi, Dan lain lagi bagi si
Waru, mungkin didamaikan dengan orang tua anak yang mengganggu. Buah pikiran
mereka berlainan karena catatan-catatan pengalaman mereka pun berlainan.
Demikian
perbedaan hidup manusia dari binatang, walaupun reaksi rasanya sama, tetapi
tindakannya berlainan. Karena manusia punya tukang memikir yaitu Kramadangsa,
yang bertindak menurut perintah catatan-catatannya.
Jadi
Kramadangsa ini dapat dikatakan, sebagai seorang buruh yang mengabdi pada
sebelas orang majikan, yang berwujud sebelas kelompok catatan tadi.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar